Sabtu, 12 April 2008

Dana Pensiun

Dalam benak Pak Ramli tidak pernah terpikir untuk menyusun anggaran rumah tangga. Jangankan terpikir, terbesit saja tidak. Pendidikan yang tidak nyampe SD membuat hidupnya mengalir saja. Termasuk urusan uang. Seharian dia berkutat dengan mesin jahit. Paling tidak, dalam sehari dia mampu menjahit lebih dari empat jilbab. Gajinya tetap per bulan. Tidak memandang apakah order naik atau turun. Mau tidak mau, Pak Ramli beserta lima kawannya harus produksi minimal 400 jilbab dalam sebulan. Dari pekerjaan inilah Pak Ramli menghidupi lima anaknya. Satu anak duduk di bangku SMP kelas satu. Empat lainnya masih kecil-kecil.

Tidak jauh beda dengan pekerja lainnya, Pak Ramli berangkat kerja jam 9 pagi dan pulang jam 6 sore. Bersyukur masih ada waktu bersama anak-anak di pagi hari. Baginya, waktu yang sangat berharga ketika dapat berkeliling pagi hari dengan motor bututnya bersama anaknya. Tak hanya cari angin dan menghabiskan bensin, tapi sekaligus mengantar susu sapi murni liter-an ke rumah pelanggan. Mungkin cuma ini penghasilan tambahan buat Pak Ramli hasil bagi warisan dari orang tua. Lumayan, per liternya bisa mengantongi 500 rupiah. Mungkin, bagi orang yang lihat, jualan susu sapi murni itu cuma pekerjaan sepele?

Padahal kalo mau dihitung, setiap pagi Pak Ramli ngantar 13 liter, berarti hampir mengantongi 6.500 rupiah per hari. Biasanya pelanggan suka membayar sebulan langsung, jadi sebulannya nyampe 195.000 rupiah. Bisa jumlahkan, setahun nyampe 2.340.000 rupiah. Uang sebanyak itu dikumpulkan hanya dari satu setengah jam setiap paginya. Siapa sangka, dari uang itulah Pak Ramli menyiapkan masa tuanya. Dengan syarat mutlak kalo uang itu memang nggak boleh diganggu gugat. Sempat ditanya tetangga, “Apa memang begitu cara nabung untuk hari tua pak?” Dengan nada santai Pak Ramli menjawab, “Aku nggak pernah sekolah, tapi itu cara yang diajarkan bapakku.”

Begitulah cara Pak Ramli menyiapkan dana pensiun. Usaha jual susu sapi murni itu menjadi warisan satu-satunya. Meskipun Pak Ramli tidak banyak tau soal dana pensiun. Yang pasti dia tau kalo usianya semakin bertambah. Kerja-kasar juga ada batas waktu. Pak Ramli menjadikan rutinitas paginya bernilai ekonomi. Paling tidak menambah ketenangan karena sudah punya bekal untuk hari tua. Karena Pak Ramli juga sadar diri. “Aku bukan Pegawai Negeri mas,” katanya.

Kasus lain, apa yang diceritakan oleh Bu Nunik. Dia bekerja di lembaga pendidikan swasta dan tahu banyak tentang dana pensiun. Tetapi lembaganya tidak memberikan dana pensiun karena tidak ada kebijakan soal itu. Beberapa perusahaan keuangan sempat menawarkan pengelolaan dana pensiun kepada lembaga tersebut tapi selalu ditolak, alasannya tidak ada alokasi uang untuk dana pensiun. Usulan yang pernah diberikan yaitu dipotongkan dari gaji. Tentu saja usulan itu diprotes oleh pegawai.

Melihat kondisi tersebut, akhirnya Bu Nunik memberanikan diri untuk mengambil pembiayaan dari Bank Syariah. Dengan uang itu, dia membuka jasa laundry. Usaha itu dilakukannya untuk mempersiapkan aktivitas setelah pensiun.

Realita sering kali menunjukkan kalo dana pensiun ini sering kali diabaikan. Tentu karena sebagian besar dari kita lebih banyak terfokus menghabiskan uang untuk keperluan jangka pendek. Atau memang tidak terpikirkan karena sudah ada yang menanggungnya, misal ditanggung negara bagi pegawai negeri atau ditanggung perusahaan bagi karyawan swasta.

Dana pensiun biasanya dimaksudkan sebagai perencanaan keuangan jangka-panjang (>10 tahun). Target tersebut dibuat untuk mempersiapkan masa tua. Dana pensiun yang dimaksud dapat berbentuk kas (uang tunai) atau juga berupa asset (usaha, saham, atau tanah). Inilah yang secara tidak sengaja telah dilakukan oleh Pak Ramli dan Bu Nunik. Perbedaannya, Pak Ramli lebih suka mempersiapkan masa tuanya dengan uang tunai sedangkan Bu Nunik mengalokasikannya dalam bentuk asset (usaha). Dorongan yang paling kuat dari Pak Ramli adalah kesadaran bahwa tidak selamanya dia akan hidup dengan menjahit. Ada masanya dimana dia tidak bisa lagi menghasilkan uang dari menjahit. Hal itu disebabkan oleh faktor usia yang semakin tua. Karena itulah perencanaan keuangan dilakukan.

Alasan logis lain yang mendasar kenapa perencanaan tersebut perlu dilakukan yaitu (1) waktu yang akan datang penuh dengan ketidakpastian (uncertainty), sehingga seseorang perlu mempersiapkan diri sejak awal tentang apa yang akan dilakukannya, (2) secara khusus rencana keuangan dibuat untuk mengatur dengan baik berbagai sumber pendapatan (income) dan sekaligus alokasinya.

Perencanaan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan untuk mempersiapkan alokasi dana pensiun yaitu pertama dana pensiun diambilkan dari sisa uang yang ditelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer (adh-dharuriyyat). Pendekatan ini menjadikan dana pensiun yang terkumpul kadang-kadang naik atau turun. Kedua, dana pensiun sudah langsung diambil sebelum uang tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer. Terlihat pendekatan ini memprioritaskan dana pensiun. Biasanya alokasi dananya tetap dan pengelolaan dana tersebut diserahkan kepada lembaga keuangan tertentu. Pendekatan kedua inilah yang sering digunakan di perusahaan negeri maupun swasta.

Permasalahan mendasar yang menjadikan kedua pendekatan tersebut tidak bisa dilakukan yaitu pertama memang tidak adanya dana untuk alokasi dana pensiun. Artinya, dana dari penghasilan sudah habis digunakan untuk kebutuhan yang bersifat konsumtif. Kedua, walaupun ada dana tapi seseorang belum tentu mempunyai ’budaya’ menyisihkan dana tersebut. Oleh karena itu, deteksi awal yang perlu dilakukan yaitu kita termasuk dalam kategori pertama atau kedua? Setelah itu, kita bisa belajar dari apa yang dilakukan Pak Ramli dan Bu Nunik.
Selamat mencoba.

***
[dwi.s]

Do'a Spiritual Financial

Kehidupan Spiritual Financial akan lebih sempurna ketika kita menyiraminya dengan do’a. Selakyaknya kehidupan yang tumbuh karena air hujan, begitu juga dengan kehidupan Spiritual Financial yang membutuhkan siraman do’a. Jika telah menguasai ikhtiar fisik, maka do’a adalah ikhtiar batin. Dua kekuatan ikhtiar ini dipadukan untuk mencapai kejayaan kehidupan Spiritual Financial kita. Ikhtiar fisik dan ikhtiar batin saling melengkapi, jangan dipisahkan. Karena memisahkan dua ikhtiar ini sama dengan menghilangkan keseimbangan Spiritual Financial yang kita miliki.

Pada realitanya, sulit sekali menjaga keseimbangan kehidupan Spiritual Financial. Seperti keimanan, Spiritual Financial berpeluang untuk naik pada satu saat dan disaat yang lain mengalami penurunan. Karena itu, kekuatan do’a akan membantu kita dalam menjaga konsistensi psiko-financial untuk tetap berada pada god side. Inilah kunci abadi yang akan menyertai kita dalam menjadi kehidupan Spiritual Financial.

Sehingga kita akan benar-benar memahami, bahwa kehidupan Spiritual Financial tidak semata-mata bertumpu pada kekuatan kita. Namun, ada kekuatan Yang Maha Menguasai god side. Kekuatan Allah subhanahu wata’ala. Berdialoglah dengan Sang Pemilik god side. Mohonlah kekuatan pada Yang Maha Menguasai god side. Dan yakinlah, kita akan mendapatkan kekuatan Spiritual Financial jika kita memintanya. Seperti yang dijanjikan-Nya, “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al-Mukmin 40: 60). Maka berdo’alah :



“Ya Tuhanku, berilah Ampun dan berilah Rahmat,
dan Engkau adalah Pemberi Rahmat Yang Paling baik.”
(QS. Al-Mu’minûn 23: 118)

***

”Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian...”
(QS. Al-Baqarah 2: 126)

***

“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorangpun sesudahku,
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.”
(QS. Shaad 38: 35)

***

“Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.”
(QS. Al-Isrâ 17: 80)

***

”Ya Tuhanku, berilah Aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang
(ibu-bapakku) dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.”
(QS. An-Naml (27): 19)

***

“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.”
(QS. al-Baqarah (2): 201)

***

”Allahumma lâ thayra illa thayruka, wa lâ khayra illa khayruka,
wa lâ ilâha ghayruka.”
”Ya Allah, tidak ada kesialan kecuali kesialan yang telah Engkau tentukan. Tidak ada kebaikan kecuali kebaikanmu. Serta tiada illah (yang berhak disembah) selain Engkau.”
(H.R. Ahmad 2-220 dan Ibnu Sunni no. 292)

***

Allahummâghfirlî dzanbî, wa wassi’ lî fî dârî, wa bârik lî fî rizqî.
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, berilah aku keluasan dalam rumahku, dan berkahilah aku dalam rizqiku.”
(H.R. Nasa’I, Amalul Yaumi wal Lailah dari Abu Musa al-Asy’ari)

***

”Ya Allah, cukupkanlah aku dengan (rezki) halal-Mu dan jauhkanlah aku dari (rezki) haram-Mu dan berilah kekayaan kepadaku dengan karunia-Mu, bukan dari selain-Mu.”
(HR. At-Tirmidzi, Kitab Ad-Da’wat, Bab fi Du’a An-Nabi)

***






”Allâhumma innî a’ûdzubika minal hammi wal hazan, wal ajli wal kasali, wal bukhli wal jubni, wa dhola’idayni wa gholabatirrijâli.”
”Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari (hal yang) menyedihkan dan menyusahkan, lemah dan malas, bakhil dan penakut, hutang yang menyibukkan (pikiran dan mengacaukan hati),
dan laki-laki yang menindasku.”
(H.R. Bukhari 7/158).


Âmien.

***
[dwi.s]

Nggak Asal Kaya!

Hubb asy-syahawat, inilah dua kata dalam al-Qur’an surat Ali Imran (3) ayat 3 yang sering digunakan untuk membenarkan bahwa manusia memiliki bahan bakar sebagai dorongan untuk melakukan aktivitas. Menurut M. Quraish Shihab, kata asy-syahawat mengandung pengertian bahwa aktivitas manusia memerlukan daya. Melangkahkan kaki atau mengangkat jari pun memerlukan daya (energi). Dan mengeluarkan energi jelas membuat keletihan, kelelahan, dan puncaknya pada kejenuhan.

Dari situ, manusia mulai berpikir, “Saya mengeluarkan energi untuk bekerja. Berarti, minimal, hasil kerja saja bisa untuk menutupi energi yang saya keluarkan.” Mudahnya, ketika kita keletihan dalam bekerja maka perlu energi baru. Inilah yang menjadi alasan kenapa kita memerlukan imbalan sebagai hasil kerja. Jawabnya sederhana, ”Untuk membeli energi baru.” Ya kan?

Setelah tau kalo kerja banyak menghabiskan energi dan hasil yang didapat pun habis untuk membeli energi baru, maka peluang yang mungkin dilakukan yaitu bekerja lebih keras lagi. Hanya saja, bekerja lebih keras pun akan memerlukan energi yang jauh lebih besar dari biasanya. Dari sini, manusia mulai berpikir lagi, ”Bagaimana caranya mengeluarkan energi yang paling minimum untuk mendapatkan hasil yang maksimum?”

Pendek kata, sama artinya dengan bagaimana menjadi kaya tanpa banyak usaha. Mulailah Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java (hasil penelitian di Mojokuto tahun 1952) mengungkap secara tertulis bahwa ada manusia yang berbisnis dengan tuyul. Inilah kali pertama tuyul menjadi idol karena produktif bagi manusia. Dengan tuyul, manusia tidak banyak mengeluarkan energi dan menhasilkan begitu banyak uang.

Geertz menjabarkan secara rinci bagaimana kegiatan tuyul, orang yang memilikinya, dan bagaimana cara mendapatkannya. Pada skala terkecil, cara mudah untuk mendeteksi seseorang itu memelihara tuyul atau tidak hanya dengan dua kata, ”kaya mendadak”. Karena, bagi orang tahun 1930-an sangat mengagetkan bila tetangganya bisa kaya mendadak ditengah kehidupan ekonomi yang serba pas-pasan.
Tidak hanya di Indonesia, di Belanda juga dikenal makhluk halus yang produktif bagi manusia dengan sebutan goblin atau kabouter, yaitu kurcaca (jantan) dan kurcaci (betina). Mitosnya, goblin memakai topi putih dan jika seseorang dapat memegangnya maka orang itu akan beruntung karena si goblin akan memberikan apa saja yang dimintanya. Semua ini diungkap oleh Van Hien dalam karyanya De Javaansche Geestenwereld pada tahun 1921.

Demi kekayaan harta, orang juga mau memuja roh binatang yang berwujud kera (ngethek), anjing, atau babi (nyegik atau babi ngepet). Orang kaya yang menggunakan mistik sebagai alat untuk memdapatkan kekayaan tampak berpenampilan kotor, tidak merawat diri, rumah tidak terawat, dan tingkah laku yang tidak sewajarnya. Bahkan, Moestapa dalam karyanya Over de Gewoonten (1910) menceritakan kalo orang yang kawin dengan perempuan kotor dan bau (atau roh yang menjelma sebagai seorang wanita) merupakan cara lain untuk menjadi kaya.

Faktanya, bisnis dengan makhluk halus sangat merugikan orang lain karena modus operandinya dengan cara mencuri. Namun, hukum negara susah menjangkau pelakunya. Disisi lain, bisnis model begini besar risikonya. Untuk melancarkan bisnisnya, pelaku serta keluarga terdekat dapat menjadi tumbal yang berujung pada kematian. Selain itu, norma masyarakat menyekat-ketat hingga pelaku tidak diberi sedikit ruang untuk bernafas. Karenanya, lambat-laun bisnis model kuno ini mulai pudar terutama bagi penduduk urban.
Beda generasi, beda ruang dan waktu tidak melunturkan niat menjadi kaya tanpa banyak usaha. Berbeda dengan bisnis tuyul yang berbau mistis, sekarang teknologi menjadi trend nomor wahid. Kasus cyber crime misalnya. Pelaku dapat dengan leluasa menghasilkan uang tanpa mengeluarkan keringat. Modus operandi yang digunakan diantaranya (1) unauthorize acces to computer system and servise, yaitu memasuki atau menyusup jaringan computer secara tidak sah dan tanpa izin. Tindakan ini dimaksud untuk sabotase atau mencuri informasi (hacker). (2) Illegal contents, yaitu tindakan memasukan informasi ke internet tentang sesuatu yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. (3) Data forgery, yaitu memasukkan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai sciptless document melalui internet. Seperti memasukkan data pribadi atau nomor kartu kredit yang disalahgunakan dalam perdagangan bisnis di internet (e-commerce). (4) Cyber espionage berupa pemanfaatan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap orang lain. (5) Cyber sabotage and extortion, yaitu pelaku menggangu, merusak, atau menghancurkan data, program komputer, atau sistem jaringannya yang terhubung dengan internet. Seperti menyusupkan suatu logic bomb, virus, atau program tertentu sehingga data atau program tidak dapat digunakan. (6) Offense against intellectual property berupa pemanfaatan hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki orang lain di jaringan internet tanpa ijin. Dan (7) Infringements of privacy, yaitu memanfaatkan keterangan pribadi seseorang yang tersimpan dalam formulir yang terhubung dengan jaringan komputer yang apabila diketahui orang lain dapat merugikan korban baik materiil maupun immateril. Seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, kondisi cacat atau penyakit yang sengaja disembunyikan dari publik.

Salah satu kisah yang menarik tentang seorang hacker dapat dilihat di film Cabin Pressure. Film yang dibintangi oleh Craig Sheffer dan Rachel Hayward ini menceritakan tentang seorang hacker computer bernama Wingfield yang mengambil alih control pesawat dan menteror penumpang dan mengunci pesawat sehingga pesawat terus berputar di atas Seattle.

Jika dibandingkan dengan bisnis tuyul, maka cyber crime sebenarnya tidak jauh beda, karena modus operandinya hampir sama, yaitu menyusup dan mencuri. Keduanya sama-sama merugikan orang lain dan menggangu ketertiban umum. Bedanya, cuma ada diperangkat yang digunakan dan pelaku cyber crime dapat dibawa ke meja hijau karena masuk dalam tindak kriminal.

Model lain, praktek bisnis yang mengorbankan orang lain demi kepentingan pribadi atau kelompok adalah terbongkarnya oknum LSM yang menjual proposal palsu. Ceritanya, ada oknum LSM menarik dana dari luar negeri dengan tameng konservasi. Mereka mengeksploitasi suku kubu atau suku anak dalam (SAD) yang juga dikenal sebagai orang Rimba, terutama yang masih hidup mengembara di dalam hutan Provinsi Jambi.

Kasus lain yang paling sulit dihadapi ketika bekerja pada kondisi yang ’meragukan’. Misalnya, gara-gara banyak korban meninggal atas dampak smack Down, maka menteri negara pemuda dan olah raga Adhyaksa Dault melarang dan polisi sudah merazia barang-barang berbau smack Down. Tapi, barang dan atribut (CD, playstation, poster, dan topeng) masih beredar. Harga CD permainan dipatok dari Rp 8.000 hingga Rp 10.000 tetap laris. Rental playstation tetap menyediakan permainan smack Down pain, smack Down 2006, dan smack Down 2007 karena permainan itu memberi pemasukan yang besar bagi rentalnya. Disatu sisi, pemilik rental dihadapkan pada keuntungan bisnis yang besar. Disisi lain, CD dan playstation smack Down telah membawa korban. Pertanyaannya, apa yang akan anda lakukan, seandainya anda adalah penjual CD dan pemilik rental playstation itu?

Dan begitu banyak model bisnis yang keluar dari jalurnya. Seperti kereta api yang keluar dari rel dan menabrak bangunan di sekitarnya. Kemungkinan besar, hal ini terjadi karena orientasi hanya pada hasil. Soal proses nomor sekian. Proses tak pernah dipikirkan, yang penting hasil. Inilah yang berkembang dan banyak dipraktekkan. Repotnya, semua ini akan menjadi kebiasaan karena dilakukan tanpa hambatan (penalty atau punishment). Maka, patutlah dipertimbangkan atas apa yang dikatakan Samuel Johnson (1709-1784), ”The chains of habit are generally too small to be felt until they are too strong to be broken, artinya rantai kebiasaan pada umumnya terlalu kecil untuk dirasakan, sampai suatu saat rantai itu menjadi sangat kuat dan sangat sulit untuk diputuskan.”
Dari kasus tuyul, cyber crime, dan banyak bisnis lainnya, kita mulai mengerti setiap proses-bisnis apa pun akan berakibat luas pada lingkungan disekitar kita. Jelas sudah bahwa rizki tidak sekedar urusan kuantitas-hasilnya, tetapi juga kualitas-prosesnya. Kebiasaan yang hanya perduli pada hasil dan cuek atas prosesnya akan menjadi bumerang bagi pelakunya. Pertanyaannya, apa yang seharusnya dihindari dalam proses-bisnis?

Atas kasus ini, al-Qur’an telah memberikan banyak solusi, diantaranya al-Qur’an surat asy-Syura (42) ayat 42, ”Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” Lihat juga QS. 2:279, 14:34, 17:33, 4:160-161, 4:77, dan QS. 4:40.

Ayat-ayat tersebut memberikan kata kunci yaitu sabîlu dan yazhlimûna annâsa. Jadi, ada hubungan antara kezhaliman terhadap sesama manusia dengan dosa. Tentu saja hubungannya kausalitas, yaitu semakin tinggi tingkat zhalim yang dilakukan, maka semakin menumpuk dosa yang ditanggungnya.

Kamus al-Munawwir menerangkan bahwa azh-zhulm terambil dari kata zh-l-m yang berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, ketidakadilan, penganiayaan, penindasan, tindakan sewenang-wenang, atau pun kegelapan.

Maka Allah memberikan solusi di surat an-Nisaa’ (4) ayat 85, ”Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barang siapa memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segalasesuatu.” Syafa’at yang baik ialah setiap sya’faat yang ditujukan untuk melindungi hak seseorang atau menghindarkannya dari sesuatu kemudharatan.

Jelas sudah solusi bisnis yang diberikan oleh al-Qur’an, yaitu menghindari unsur zhalim dan tetap melindungi hak orang lain. Hal ini diakui oleh Robert T. Kiyosaki dan Sharon L. Lechter dalam karyanya Rich Dad’s Guide to Investing bahwa kaya saja tidaklah cukup, tetapi sangat dibutuhkan kepandaian (educationi) yang berujung pada perilaku yang baik (good behavioral) hingga membentuk kebiasaan yang baik (good habit), dan puncaknya menjadi pengalaman yang baik (good experience).

Teringat kisah seorang wanita tua, bertubuh gemuk, dengan senyum jenaka di sela-sela pipinya yang bulat. Duduk menggelar nasi bungkus dagangannya. Segera saja beberapa pekerja bangunan dan kuli angkut yang sudah menunggu sejak tadi mengerubungi dan membuatnya sibuk meladeni. Bagi mereka, menu dan rasa bukan soal, yang terpenting adalah harganya yang luar biasa murah.

Hampir-hampir mustahil ada orang yang bisa berdagang dengan harga sedemikian murahnya, ”Lalu apa untungnya?” Wanita itu terkekeh menjawab, ”Bisa numpang makan dan sedikit membeli sabun.” Tapi, ”Bukankah ibu bisa menaikkan harga sedikit?” Sekali lagi ia terkekeh, ”Lalu bagaimana kuli-kuli itu bisa beli? Siapa yang mau menyediakan sarapan buat mereka?” katanya sambil menunjukkan para lelaki yang mulai berlompatan ke atas truk-pengantar mereka ke tempat kerja.

Indahnya, jika bisa kaya dengan tetap melindungi hak-hak orang lain dan tetap menjaga harga diri sendiri. Inilah yang bisa menahan langit supaya tidak runtuh. Membuat jalan hidup yang terjal-berbatu menjadi halus. Mengobati luka. Menghidupkan yang hidup. Menghadirkan kesejahteraan bagi semua. Kaya saja tidaklah cukup dan nggak asal kaya.
***
[dwi.s]

Muhasabah Financial

Ada sebuah cerita tentang petualangan Robinson Crusoe yang sangat tepat untuk menggambarkan perjuangan seseorang yang sukses dalam mengelola hartanya. Pengalaman Robinson Crusoe ini, jika dituturkan kembali akan banyak memberi pelajaran bagi kita. Sekaligus akan membantu kita untuk muhasabah (evaluasi) serta perencanaan dalam pemanfaatan harta, yaitu bagaimana terus menikmati tanpa menghabiskannya.

Robinson Crusoe adalah seorang pemuda Inggris yang sedang patah hati. Kemudian berlayar mengarungi laut sendirian. Kapal kecilnya rusak terhempaskan oleh gelombang laut. Dan ia terdampar di sebuah pulau tanpa penghuni.

Tiada pilihan baginya, ia harus mencari ikan bagi hidupnya. Untuk itu ia hanya bisa menggunakan kedua tangannya. Pada hari pertama, sehari penuh ia bekerja dan hanya memperoleh 4 ekor ikan kecil-kecil. Demikian pula hari kedua diperolehnya tidak lebih dari 4 ekor ikan saja. Pada hari ketiga diperolehnya 4 ekor ikan pula. Pada akhir hari ketiga itu, ia mulai memikirkan nasibnya. Empat ekor ikan kecil-kecil itu tidak cukup mengenyangkan perutnya. Ia mulai merasakan derita lapar. Ia sadar bahwa kelangsungan hidupnya mulai terancam.

Manusia berbeda dengan binatang. Manusia mampu membuat alat. Sebagai manusia, Robinson mulai memikirkan bagaimana membuat alat yang dapat digunakan untuk mencari ikan yang lebih banyak. Keputusan harus ia ambil antara dua pilihan. Pertama, jika ia membuat alat, maka ia tidak mempunyai waktu untuk menangkap ikan. Yang berarti, ia tidak makan selama membuat alat itu. Kedua, jika dipilihnya pasrah, ia akan kelaparan sampai waktu menentukan nasibnya.

Robinson Crusoe akhirnya memilih. Ia tidak mau menyerah begitu saja kepada nasib. Meskipun dengan 4 ekor ikan sehari ia menderita lapar, ia bertekad untuk berani lebih lapar lagi. Pada hari keempat dicarinya lagi ikan dengan tangannya, diperolehnya 4 ekor pula. Tetapi tidak semua ia habiskan, yang 3 ekor ia makan dan yang 1 ekor ia simpan. Ia melakukan hal yang sama dihari kelima dan keenam, yaitu sehari 3 ekor ia makan dan 1 ekor ia simpan. Akhirnya, pada hari ketujuh ia mempunyai simpanan 3 ekor ikan. Jadi, sejak hari keempat ia sudah mengurangi konsumsinya dan menyisihkan sebagian penghasilan ikannya sebagai simpanan.

Pada hari ketujuh ia tidak perlu mencari ikan lagi untuk makan karena memakan ikan uang ia simpan (3 ekor ikan). Dengan begitu, ia dapat membuat jala. Baginya, membuat jala dapat menjadi investasi. Pada hari kedelapan, dengan jala itu ia memperoleh 10 ekor ikan dan ia makan semuanya. Pada hari kesepuluh ia memperoleh 10 ekor ikan dan juga makan semuanya.

Tapi, baru pada hari kesebelas ia hanya makan 6 ekor saja, sedangkan 4 ekor sisanya ia simpan. Demikian juga dengan hari keduabelas dan hari ketigabelas. 10 ekor ikan yang diperoleh ia makan perharinya 6 ekor dan 4 ekor untuk masing-masing hari itu ia simpan, sehingga sampai hari ketigabelas tabungannya menjadi 12 ekor ikan.

Pada akhir hari ketigabelas, nasib buruk menimpanya. Jalanya rusak, sehingga ia harus membuat jala yang baru pada hari-hari berikutnya. Beruntung ia memiliki 12 ekor ikan yang telah disimpan. Mestinya dengan gaya hidup lamanya pada hari pertama sampai ketujuh ia berada di pulau itu 12 ekor ikan tabungannya ini dapat ia gunakan untuk membuat 4 jala. Namun, kini ia hanya merasa mampu membuat 2 jala karena 12 ekor ikan itu hanya disantapnya untuk dua hari saja. Ia telah terbiasa dengan gaya hidup baru yaitu 6 ekor ikan perhari, tidak lagi 3 atau 4 ekor.

Dengan dua jala yang dibuatnya selama 2 hari pada hari keenambelas, tiap hari ia mendapat 20 ekor ikan yang sebagian disimpan. Ia cukup dengan 8 ekor ikan perhari. Pada hari-hari selanjutnya, ikan yang ditabung semakin banyak dan ia pun bisa memperbaiki kapalnya untuk berlayar lagi menuju dunia yang lebih kesejahteraan.

***

Proses keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh Robinson Crusoe ini sangat luar biasa. Salah sedikit saja dalam mengambil keputusan, maka selamanya ia akan terdampar di sebuah pulau yang tak berpenghuni itu. Apa yang dilakukan pada hari keempat sampai hari keenam, yaitu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk ditabung, dengan pengertian bahwa ia yang lapar itu, toh berani lebih lapar lagi demi membuat jala, ini yang disebut austerity (prihatin, tirakat, sederhana, prasojo, gemi, tarak dan lainnya).

Yang perlu kita perhatikan juga, bahwa tingkah laku Robinson Crusoe pada tahap berikutnya. Cermati pada hari kedelapan sampai hari kesepuluh. Seluruh pendapatannya dimakan semua, tidak ada sisa satu ikan pun yang disisihkannya. Ini menjadi gejala yang wajar sampai batas-batas tertentu, karena memang demikianlah manusia mempunyai sifat kemaruk. Biasanya, sehabis menderita dan mendapat cobaan keras, muncullah sifat berlebih-lebihan ketika mendapat tambahan rezeki. Tetapi kemaruk ini tidak berarti harus dibiarkan berkembang tanpa pengendalian dan pengawasan.

Tahap berikutnya yang perlu diambil hikmahnya adalah pola hidup Robinson Crusoe pada hari-hari keempatbelas dan kelimabelas. Pada hari sebelumnya, yaitu pada hari-hari keempat, kelima dan keenam, untuk membuat satu jala ia perlu 3 ekor ikan, namun tahap ini 12 ekor ikan hanya digunakan untuk 2 hari dan menghasilkan dua jala. Sehari ia menghabiskan 6 ekor ikan, ini adalah pola hidup barunya. Kebiasaan yang ada sebelum hari keempatbelas sejak ia dalam tahap kemaruk, ia telah membentuk pola hidup baru itu. Seperti halnya semula kita cukup hanya memilih motor, sekarang ia harus hidup dengan motor dan mobil. Apa hakikat dalam tahap ini? Aspirasi Robinson Crusoe berubah, dan perubahan itu disebabkan meningkatnya penghasilan. Namun perlu dijaga, meningkatnya penghasilan itu jangan sampai meningkatkan aspirasi yang melebihi kemampuan ekonomi untuk mendukungnya. Kepeloporan Robinson Crusoe semakin terlihat nyata pada hari keenambelas dan selanjutnya. Ia menyelesaikan dua jala yang baru dan dapat lebih banyak lagi, bahkan sanggup membuat perahu lagi menuju dunia baru. Inilah periode lepas landas dalam proses kehidupan financial.

Dari cerita di atas, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik agar kondisi keuangan kita tetap terjaga. Muhasabah-nya, betapa banyak dari kita menjadi gagal ditahun lalu, karena pengeluaran untuk kebutuhan pribadi (terutama konsumsi) sangat tidak terkontrol. Besar pasak dari tiang, besar pengeluaran dari penghasilan. Anjuran yang paling bijak adalah selalu menabung. Kalau kita sehari memperoleh keuntungan Rp 20.000,- maka 10% harus ditabung. Sehingga, suatu saat dapat digunakan untuk membuat jala sebagai investasi. Pertanyaannya, bagaimana kita belajar dari Islam tentang prinsip-prinsip dalam konsumsi, menabung, dan investasi ?

***

Tentang konsumsi, Islam memberikan nasehat kepada kita untuk memenuhi konsumsi diri sendiri sekaligus keluarga. Sebagaimana Rasulullah Saw. dalam haditsnya berkata, “Dahulukanlah dirimu, maka bersedekahlah atas dirimu; jika ada sisanya, maka untuk keluargamu; jika masih ada sisa setelah untuk keluargamu, maka peruntukkanlah bagi kerabatmu yang lain; jika masih ada sisa lagi, maka demikian dan demikian.” (HR. Nasa’i).

Konsumsi untuk diri sendiri meliputi kebutuhan-kebutuhan pokok dan kebutuhan fungsional, yaitu “Sungguh badan dan jasmanimu mempunyai hak yang wajib kamu penuhi.” (HR. Bukhari). Barang ataupun jasa yang kita konsumsi dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu kebutuhan, kesenangan dan kelengkapan. Kebutuhan meliputi keperluan pokok seperti sandang, pangan, dan papan. Kesenangan meliputi semua yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan mengurangi kesukaran, seperti kendaraan. Sedangkan, kelengkapan (komplementer) merupakan kebutuhan sekunder yang mempunyai nilai tambah bagi kita.

Menjadi catatan penting bahwa ketiga kategori produk konsumsi tersebut merupakan kebutuhan dan bukan termasuk dalam kemewahaan apalagi menjadi simbol-simbol status sosial. Artinya, segala sesuatu yang keluar dari kebutuhan tersebut tidak berbentuk pemborosan dan bukan kehendak diri yang berlebihan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Qur’an surat al-Israa’ (17) ayat 27, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

***

Tentang menabung (saving), percayalah bahwa makhluk yang memiliki masa depan adalah manusia. Sedangkan masa depan tidak pernah kita ketahui dengan pasti, “...dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan diusahakannya besok..” (QS. Lukman 31: 34). Setidaknya, kita mesti menyiapkan masa depan dengan harta yang kita miliki. Dalam ekonomi, penyiapan masa depan dapat dilakukan dengan melalui tabungan atau menabung. Menabung merupakan aktivitas mencadangkan sebagian pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting dan mendadak di masa yang akan datang. Inilah sebagian nilai spiritual financial Qur’an surat Yusuf (12) ayat 47-48, “Supaya kamu bertanam tujuh tahun sebagaimana biasa. Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya , kecuali sedikit dari yang kamu simpan.”

Anjuran menabung sebagian pendapatan merupakan antisipasi “siklus tujuh tahunan” yang merupakan perimbangan antara masa kemakmuran dan keprihatinan. Dan Rasulullah Saw. pun berpesan, “Tahanlah sebagian hartamu untuk masa depanmu. Hal itu lebih baik bagimu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmidzi dan Nas’i).

Beberapa jenis dalam menabung diantaranya (1) memegang kekayaannya dalam bentuk uang kas (idle cash), (2) memegang tabungan dalam bentuk harta tanpa berproduksi seperti deposito, perhiasan, atau rumah, dan (3) menginvestasikan ke proyek yang menguntungkan dan tidak dilarang dalam ajaran Islam. Penjelasannya, pola (1) sangat dilarang dalam Islam, karena harta akan habis dimakan zakat dan tidak produktif. Ketidakproduktifan harta jelas akan mengganggu siklus ekonomi. Pola (2) boleh dilakukan dengan cara-cara yang dianjurkan dan dibolehkan oleh ajaran Islam, seperti menghindari riba. Sedangkan pola (3) merupakan pola yang sangat dianjurkan, karena pola ini akan membantu aliran uang secara baik dan menyebabkan kondisi kesehatan ekonomi umat semakin baik pula.

***

Tentang investasi, menjadi ungkapan syukur kita atas harta yang diamanahkan untuk menjadi lebih produktif. Investasi yang dimaksud yaitu bukan merupakan cara untuk mendapatkan suku-bunga yang tinggi. Namun, investasi ditentukan oleh tingkat keuntungan yang diharapkan dengan sistem bagi-hasil, tingkat zakat atas aset yang kurang produktif, tingkat zakat atas keuntungan dari investasi, dan pengeluaran lain atas aset yang tidak kurang produktif selain zakat. Jadi, investasi yang kita lakukan mempunyai nilai sosial bagi orang lain melalui usaha di sektor riil, “...dan janganlah harta itu hanya berputar pada sebagian kecil golongan saja..” (QS. Al-Hasyr : 7). Inilah ajaran tentang menghindari sentralisasi modal pada segelintir orang saja (kapitalis).

***
Yakinlah bahwa keseimbangan pemenuhan kebutuhan masing-masing unsur tersebut akan sangat bergantung kepada lemah-kuatnya dorongan nafsu dan kualitas pengendalian yang diperani oleh akal dan hati yang tercermin dari perilaku. Sebagai muhasabah, bagaimana cara kita mengelola financial di tahun-tahun yang lalu? Kemudian, bagaimana cara kita untuk mengelola financial di tahun ini? Jawabannya telah kita baca di atas. Selamat mencoba.
wa Allahu a’lam bi’sh-shawab.

***
[dwi.s]

Membeli Surga

Pas lagi mau sms, eh sudah di sms duluan. Sebenarnya besok aku juga mau ke rumah beliau. Mau nanyain: apa jadi pensiun dini? Pak Zulfi udah mengabdi di perusahaan milik negara itu selama 26 tahun. Ya kalo dihitung usia sebenarnya belum jatah pensiun. Tapi, kata beliau ada tawaran pensiun yang menarik (dana pensiunnya gede).

“Jadi mas, saya mulai nggak aktif mulai 1 April,” jawab pak Zulfi.

Untuk kali ini, aku benar-benar lihat wajah beliau yang cerah, ceria, kayak udah nggak ada beban. Biasanya, kalo udah ngajak makan keluar, pasti buanyak tentang ‘beban kantor’. Maklum, beliau mimpin banyak devisi. Kalo ada pemeriksaan intern, banyak juga urusannya.

“Trus mau gimana pak?” aku nanya aja, nggak pakai basa-basi.

Beliau senyum, “Kalo menurutmu gimana?” Lho beliau malah balik Tanya.
“Wah, kalo dengan dana milyaran gitu enaknya ngapain ya. Deposito aja mungkin he..” aku cuma bercanda.

“Ya juga, tapi saya ingin ada aktivitas mas, biar nggak jenuh. Gimana kalo bisnis aja, kamu kan tahu cara bisnis yang sesuai syariah,” beliau minta saran.

“Ooo.., kalo gitu investasi aja. Ambil yang sifatnya jangka panjang. Trus yang untuk ‘hidup’ sehari-hari pakai investasi jangka pendek,” aku sedikit ngasih pendapat.

“Terus, investasi jangka panjang enaknya apa? Trus yang pendek apa?” beliau ngrespon.

“Ya tanah dong pak. Gimana kalo buat tempat kost aja? Trus ada usaha juga,” aku tawarkan dengan mantapnya.

Kami diskusi di warung bakso langganan, biar lebih nyantai, lebih cair.
“Kalo gitu sekalian aja mas, nggak usah kost tapi kayak asramamu itu lho,” kayaknya beliau mulai setuju dengan investasi jangka panjang itu.

Memang, kebetulan aku tinggal di pondok pesantren mahasiswa. Konsepnya sederhana, kita tinggal di sana plus dapet ilmu agama Islam pagi dan malamnya. Dilihat dari latar belakang beliau yang ‘agamis’, jadi tidak mengherankan kalo uang itu mau diinvestasikan kearah sana.

“Subhanallah, bagus itu pak. Berarti butuh buat yayasan dong pak?”

Mulai ada misi dan visi yang sama. Selanjutnya otomatis, kalo udah banyak kasih ide aku mesti bantu habis-habisan. Kami mulai rangkum ide-ide yang berserakan itu sambil jalan-jalan (silaturahmi maksudnya.) Hasilnya, sepakat! Kita akan buat yayasan. Rencananya, ada pendidikan dan usahanya. Nah, uang pensiun itu untuk beli tanah dan mbangun asramanya. Sekalian buat modal usaha. Subhanallah.!

Tanggal 7 April 2007 pendiri yayasan berkumpul, mulai dari kyai, pebisnis, sampai orang pemerintahan. Dan dibantu beberapa mahasiswa. Acaranya biasa, ada sambutan dari pak Zulfi yang cerita soal latar belakang pendirian pondok. Ada wawasan tentang pondok di Indonesia (sejarah dan aturan-aturannya) disampaikan oleh Ustd. Masyhur. Selanjutnya ada dialog terbuka dengan seorang pebisnis. Pebisnis itu mengatakan,
”Hari ini saya benar-benar ditampar Allah. Bapak-ibu tau usaha saya berkembang, tetapi secara pribadi saya tidak pernah berpikir uang itu akan saya investasikan untuk kepentingan orang lain. Pak Zulfi seakan-akan menjadi cermin buat saya. Ketika saya punya uang, pasti pingin untuk kepuasan diri sendiri dan keluarga. Saya bingung dengan logika yang digunakan pak Zulfi, membiarkan tanah dan bangunannya ditempati orang lain, gratis lagi! Mereka yang tinggal di situ juga diberi kerjaan. Tentu, saya akan bergabung. Mungkin saya bias berbagi di bidang bisnis, karena cuma itu yang bias saya sumbangkan. Untuk teman-teman yang lain, kalo anda punya tenaga maka sumbangkanlah tenaga itu. Bagi yang punya ilmu, maka sumbangkanlah ilmu itu. Saya merasakan, akan ada ‘sesuatu’ yang lebih besar yang bisa kita dapatkan selain uang!. Dan, pak Zulfi seakan-akan melihat ‘sesuatu itu’.” Mata pebisnis itu berkaca-kaca.

Semua terdiam. Sebagian menunduk. Sunyi. Wajah mereka seakan ‘meng-iya-kan’ apa yang pebisnis itu katakan. Pak Zulfi sendiri tersenyum, dan berkata:
“Saya tetap pakai logika akal untuk menjalankan usaha biar pondok bisa tetap ‘hidup’. Saya juga pakai hati untuk sekedar membantu orang lain sebisa saya. Yang terpenting, saya pakai ‘keyakinan’ kalo dengan itu semua saya bisa ‘membeli surga’. Itu saja, dan anda bisa melakukannya dengan apa yang anda miliki sekarang, entah itu pikiran, tenaga, atau apapun. Sekaranglah saatnya.”

Aku sendiri menunduk. Sesekali menganggukkan kepala. Apa yang kumengerti dengan investasi jangka panjang itu salah. Ternyata, investasi jangka panjang tidak hanya urusan 10 tahun, 15 tahun, tetapi lebih dari itu. Investasi jangka panjang itu untuk kehidupan di akherat. Yakni, akheratnya dapet trus dunianya ngikut. Sekarang aku mengerti bagaimana cara ‘membeli surga’ itu. Sekarang aku mengerti apa yang harus kulakukan dengan ‘modal’ yang Allah berikan kepadaku. Tenaga, ide, harta, atau apapun itu untuk satu tujuan: ‘ibadah’. Iya, amal inilah yang akan bicara. Amal inilah yang akan jadi saksi. Amal salehlah yang akan aku ‘tukarkan’ dengan surga itu.

Dan sekaranglah saatnya, aku ‘membeli surga’ itu.

***
[dwi.s]

Konsumen Sejati

Ada orang membeli produk (barang dan jasa) lantaran gengsi. Bukan karena butuh, bukan karena perlu. Untuk sebuah gengsi, orang mau membeli decorative lightings (lampu hias) dengan harga Rp 3 juta hingga 39 juta per set. “Demi prestise keluarga,” katanya. Mulai jenis pendant (gantung), ceiling (menempel di plafon), down light (masuk ke dalam plafon), wall (menempel di dinding), dan table (di atas meja) pun ada di rumahnya. Mulai dari bahan kristas, kaca, dan PVC semuanya komplit. Nggak nanggung-nanggung, semuanya itu diburu hingga ke Cina, Amerika Serikat, dan Eropa. Jika ditanya, ”Kenapa anda membeli semua itu? Jawabnya, ”Biar tamu bisa melihat dan merasakan focal point ruangan ini.” Semua itu dibeli untuk sebuah gengsi, prestise.

Dikalangan muda-mudi yang ngakunya gaul, mereka siap mengeluarkan uang demi menutup muka di depan teman-temannya. Bila memang lagi nge-trend pasti dibeli. Demi penampilan yang dianggap nyentrik mereka berani ngutang sana-sini. Misalnya saja, untuk sebuah belt away (ikat pinggang) dengan merk Converse mereka harus mengeluarkan Rp 79.000. Merk Puma dengan harga Rp 159.000 – Rp 299.000. Merk Rockets dari mulai Rp 99.000 - Rp 299.000. Dan merk Oakley dipatok dari harga Rp 674.00 s.d. Rp 749.000. Sekedar mengingatkan, harga yang disebutkan terakhir ini melebihi biaya SPP SD-IT dan hampir setara dengan uang SPP di Perguruan Tinggi. Semua itu dibeli untuk sebuah gengsi, trend, dan mode.

Sebagai orang tua, mereka tetap akan membelikan apa yang diminta anaknya. Video game misalnya, mulai dari game Freestyle Basketball, Dirt: Colin MCRAE Off-Road, Surf’s Up, dan NCAA March Madness 07 lengkap di rumah. Bahkan, perlengkapan game itu ditata dan disimpan di lemari khusus. Tak ketinggalan, game-nya harus up-to-date. Dilengkapi dengan majalah game pendukung, biar tau cara menangkan gamenya (jadi winer) dan tau jenis game terbaru. Jika ditanya, ”Kenapa anda membelikan semua game itu?” ”Habis, anak saya seneng sich!” jawabnya. Semua itu dibeli untuk sebuah kesenangan. Ya, sebuah kesenangan.
Hal yang paling mengherankan, banyak rumah di Indonesia yang didalamnya terdapat lemari kaca yang dihiasi oleh benda-benda yang nggak terlalu diperlukan. Kalo ditanya, ”Mengapa anda membeli barang itu?” Jawabnya, ”Ya... sekedar hiasan.”

Jika mau diteliti, perilaku ekonomi yang ”model-begini” akan menyebabkan ilmu ekonomi yang diajarkan di fakultas ekonomi menjadi dipertanyakan. Biasanya, teori yang dibangun oleh kebanyakan fakultas ekonomi menggunakan metode induktif (berdasarkan realita) yang ada di masyarakat. Hasil penelitian tersebut kemudian diajarkan kepada mahasiswanya. Bisa dibayangkan, misalkan hasil penelitian tentang teori perilaku konsumen di Indonesia menunjukkan bahwa keputusan seseorang membeli barang ditentukan oleh faktor-faktor seperti rasa gengsi, trend, mode, dan kesenangan (hedonis). Jika produsen mengetahui hasil penelitian itu, maka mereka akan menggunakan berbagai cara untuk menciptakan produk yang hanya bisa menciptakan trend, prestise, mode, dan berorientasi kesenangan.

Semua ini tidak terlepas dari paradigma perilaku ekonomi yang diajarkan oleh Paul A. Samuelson dan William D. dalam bukunya Microeconomics. Mereka mengajarkan bahwa orang cenderung membeli barang-barang dan jasa-jasa yang nilainya paling tinggi. Tepatnya, mereka menekankan pada teori utility (kepuasan), artinya bahwa orang mengkonsumsi produk semata-mata demi kepuasan-pribadi, sifatnya subjektif (relative). Jadi, produk itu berguna atau tidak, dikembalikan kepada orang yang mengkonsumsinya. Anehnya lagi, mereka mengakui sendiri dalam buku itu (halaman 101), kalo teori utility tidak ada hubungannya dengan faktor psikologis. Dengan kata lain, faktor psikologis manusia dianggapnya tidak mempengaruhi pola konsumsi (citeris paribus). Aneh ya.

Realita itu berjalan karena keinginan (want) selalu ditonjolkan saat membeli produk, bukan karena kebutuhan (need). Coba saja, kalo pas punya uang, pasti yang ada dipikiran, ”Apa yang ingin aku beli dengan uang ini?” Bukan, ”Apa yang aku butuhkan untuk dibeli?” Diakui, inilah salah satu sifat bawaan manusia yaitu tamak (QS. 70: 19) dan mencintai harta secara berlebihan (QS. 89: 20).

Padahal, jika kita mengikuti keinginan maka tidak akan ketemu ujungnya. Rasulullah Saw memberikan informasi, ”Seandainya Tuhan memberikan pada manusia satu bukit penuh emas, maka ia akan meminta satu bukit lagi, dan seandainya ia diberi (bukit emas) yang kedua, niscaya ia akan meminta yang ketiga. Manusia tidak akan pernah merasa puas sampai ia mati.” (Bukhari).

Selain itu, kelemahan yang sering terjadi saat kita memilih produk adalah terbatasnya informasi tentang produk itu (uncompleted information of product). Kita kebingungan, produk seperti apa yang seharusnya dikonsumsi? dan faktor apa yang seharusnya kita pertimbangkan dalam memilih suatu produk?

Atas kesulitan ini, al-Qur’an memberi solusi. Faktor yang digunakan dalam memutuskan penggunaan produk terbagi menjadi dua kategori, yakni halal (yang diperbolehkan) dan tayyib (yang baik-baik). Bisa dicek, dua kategori itu terangkum dengan jelas dalam Qur’an surat 2:57, 2:168, 2:172, 5:1, 5:4, 5:5, 5:88, 6:141, 6:142, 6:143, 6:144, 6:145, 7:157, 7:160, 16:72, 16:114, 17:70, 22:30, dan 23:51.

Al-Jurjani (ahli bahasa arab) dalam kitab at-Ta’rifat (kitab definisi) memberitahukan bahwa halal menyangkut kebolehan menggunakan benda-benda atau apa saja yang dibutuhkan untuk memenuhi keperluan fisik, termasuk didalamnya makanan, minuman, dan obat-obatan.

Misalnya, kita sudah yakin kalo roti yang kita beli adalah halal. Mudah untuk mengetahuinya karena ada label halal dibungkusnya. Tapi, bagaimana kita tau kalo roti itu tayyib untuk dikonsumsi? Jawabnya, ada dikomposisi (bahan) roti itu dan tanggal kadaluarsa. Bisa jadi roti itu halal tetapi tidak mungkin kita makan karena sudah basi. Jika terus ditelusuri, maka tidak hanya berhenti pada tahap itu. Faktor tayyib mendorong kita untuk mengetahui bagaimana cara memproduksinya? Tayyib-kah?

Taukah kita, kalo kue (tart, bolu, apem) sangat memerlukan bahan pengembang seperti ovalet, TBM, SP, atau soda kue. Padahal, bahan-pengembang yang ada di pasaran merupakan turunan lemak yang disebut dengan mono dan gliserol. Rantai lemak yang terdiri dari gliserol dan tiga asam lemak itu dimodifikasi dan dipotong salah satu atau dua rantai asam lemaknya sehingga memiliki karakteristik sebagai bahan pengemulsi sekaligus memberikan tekstur yang lembut. Akibatnya adonan yang terdiri dari telur, lemak (margarin), dan air bisa mengembang karena adanya pengadukan dan pengocokan. Karena adanya lemak, maka hanya ada dua kemungkinan yang dipakai, lemak nabati atau lemak hewani. Jika yang digunakan adalah lemak hewani, maka perlu diselidiki status kehalalan hewan itu. Sebab, bisa saja lemak itu berasal dari lemak babi atau hewan yang tidak disembelih atas nama Allah. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ke-tayyib-an produk harus dimiliki.

Jelas sudah, bahwa sangatlah terkait antara produk yang tayyib dengan yang halal. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Terbukti, dua kategori ini mampu menuntun kita pada pola konsumsi yang seharusnya dilakukan. Jika dua kategori ini kita lakukan, niscaya lambat-laun produsen pun akan berhati-hati dan menyesuaikan dengan kebutuhan kita.

Dibalik itu semua, kategori halal dan tayyib membawa kita pada dimensi transendental (religius). Kategori halal menuntun kita pada keselamatan dunia-akherat. Sedangkan kategori tayyib membawa kita pada kebaikan dunia-akherat. Dengan begitu, kita akan menghindari pola konsumsi yang membahayakan dunia-akherat kita.

Pada produk jasa, kita akan tetap menggunakan kategori halal dan tayyib. Misalnya, jasa pengobatan dengan tajuk Jogja Festival 2007 yang diadakan di stadion Mandala Krida Yogyakarta pada tanggal 30 Mei s.d. 2 Juni 2007. Bisa saja, jasa pengobatannya halal, tapi jika festival itu dicampur dengan ritual keagamaan yang dipimpin oleh Pendeta Dr. Peter Youngren (seorang misionaris-penginjil dari Kanada), maka perlu kita mempertanyakan ke-halal¬-an dan ke-tayyib¬-an acara pengobatan itu. Apakah acara pengobatan itu membahayakan dunia-akherat kita?

Tidak hanya berhenti pada kasus roti dan acara pengobatannya Pdt. Dr. Peter Youngren, tapi untuk semua produk. Kita tetap menggunakan kategori halal dan tayyib. Lebih luas lagi, kedua kategori tersebut tetap digunakan pasca-pembelian. Apakah produk digunakan untuk aktivitas yang halal? Apakah produk dimanfaatkan dengan tayyib?

Kasusnya, karena notebook masa kini sudah bisa mengakses koneksi Wi-Fi, maka tempat-tempat umum termotivasi untuk menyediakan hotspot sebagai fasilitas ekstra. Hotspot adalah area yang memiliki koneksi internet yang disebar menggunakan koneksi Wi-Fi. Banyak orang membeli notebook karena akses internet menjadi gratis (free). Pada kondisi inilah, fasilitas hidup akan membawa pada pilihan penggunaan secara halal-tayyib atau tidak. Positifnya, akses internet dapat dijadikan sebagai sarana menjemput rizki. Tidak sedikit orang yang kaya dari internet. Tapi, dari internetlah kerusakan moral terjadi. Berapa situs porno yang terbang-bebas diinternet? Puluhan, ratusan, ribuan? Semuanya gratis untuk diakses. Pada kondisi inilah kita patut menanyakan tentang ke-halala-an dan ke-tayyib-an itu. Semua berpulang pada perilaku saat kita menggunakannya.

Kategori tayyib juga terwujud pada bagaimana kita memperlakukan produk. Caranya dapat ditemukan di buku pemakaian-produk. Ponsel misalnya, pernahkah kita mengetahui bagaimana cara memperlakukan baterai ponsel dengan baik? Maka, kewajiban kita adalah mengerti bagaimana memanfaatkan dan merawatnya. Taukah kita? supaya baterai ponsel tetap terjaga kualitasnya (hemat), maka perlu dilakukan beberapa hal, yaitu mematikan fasilitas getar, menghindari aktif getar sekaligus dering, mengurangi main game, mematikan fasilitas GPRS, mematikan ponsel waktu recharge, menghindari mematikan dan menghidupkan posel terlalu sering karena searching butuh energi banyak, menghindari me-charge semalaman, dan jika ponsel sulit mendapatkan sinyal, maka lebih baik dimatikan. Tentu saja, cara tersebut berlaku untuk semua merk ponsep dan baterai. Yang penting untuk digaris-bawahi bahwa sebagus apapun dan secanggih apapun ponsel yang kita memiliki akan rusak sebelum masanya karena tidak digunakan dan dirawat dengan tayyib. Dengan demikian, tentu saja tidak hanya utility yang dikejar namun lebih meningkat pada derajat maslahat.

Derajat maslahat memperhatikan efek jangka panjang, bukan sikap pragmatis. Tingkatan konsumsi maslahat menuju keamanan akherat, bukan hanya ketamakan dunia. Maka, telitilah pra serta pasca pembelian produk. Tetap pertahankan kategori halal dan tayyib. Semoga kita selamat dunia-akherat. Âmîn.

***
[dwi.s]

Keshalehan Sosial

Tiga kisah nyata yang diangkat dalam tulisan ini merupakan hasil penelitian-kualitatif dari Prof. Dr. Iwan Triyuwono, SE., Ak.., PhD., semoga dapat dimaknai pada masa kini untuk diambil ekstrak nilai yang terkandung didalamnya. Tiga kisah nyata tersebut tentang (1) Banawir yang menjual jamu tradisional dan alami, (2) Emba, seorang nelayan yang berdagang ikan, dan (3) Aiti yang berjualan es lilin.

Kisah nyata (1): Banawir, Pembuat Jamu Tradisional dan Alami
Usaha yang dilakukan Banawir (60 th) adalah menjual jamu tradisional yang dibuat dari bahan alami dari daun-daunan (tanaman obat). Setiap jam 6 pagi Banawir pergi ke kebun untuk mengambil daun-daunan sebagai bahan untuk membuat jamu. Setelah berbagai jenis daun yang dibutuhkannya dipetik dan dikumpulkan, ia pulang ke rumah untuk mulai meracik bahan dan memprosesnya menjadi jamu. Jamu yang ia buat adalah jamu mentah, artinya daun-daun segar tadi setelah dicuci bersih langsung dihaluskan dalam bentuk bubur. Dalam bentuk seperti itu, jamu sudah siap dijual dan diminum. Jamu yang dibuat Banawir tidak dapat bertahan lama. Pada sore hari, jam 5-6 sore jamu tersebut sudah tidak dapat dikonsumsi lagi. Dalam sehari itu, jamu yang ia buat tidak mesti habis dibeli orang. Tetapi meskipun tidak terjual semua, setiap hari ia tetap membuat jamu. Profesi ini ia lakukan selama bertahun-tahun, dan bahkan diturunkan ke, dan dilanjutkan oleh, anaknya. Pelanggannya adalah para tetangga di kampung yang sama dan masyarakat dari kampung lainnya. Secara ekonomi, usaha ini tidak memberikan pendapatan yang cukup, atau mungkin bahkan merugi. Tetapi mengapa usaha ini dilakukan sampai bertahun-tahun dan bahkan diturunkan kepada anaknya? Ketika ditanya mengapa demikian, maka Banawir akan menjawab: ”Saya cuma ingin membantu orang saja. Saya senang sekali kalau pelanggan saya sembuh setelah minum jamu saya. Itu saja! Alhamdulillah, Allah memberi kesempatan saya untuk membantu orang lain.”
Dari kisah nyata di atas, kita dapat melihat bahwa Banawir sama sekali tidak berorientasi pada keuntungan dari usaha penjualan jamunya. Tujuannya untuk membantu orang agar cepat sembuh dan sekaligus sebagai bentuk ibadah. Dari penjualan tersebut memang ia mendapatkan uang. Tetapi jumlahnya tidak seberapa.
Dalam proses produksinya, Banawir sama sekali tidak mengeluarkan biaya produksi (costs of production). Bahan baku yang berupa daun-daunan tinggal mengambil di kebun dan tenaga yang memprosesnya tidak pernah dihitung berapa besarnya. Jadi praktis biaya produksinya nol. Kalau kemudian ia menjual jamunya, maka total penjualan tersebut merupakan penghasilan yang ia dapatkan.

Di samping mendapatkan uang, Banawir juga mendapatkan kesenangan (happiness), yaitu seperti yang ia ungkapkan: ”Saya senang sekali kalau pelanggan saya sembuh setelah minum jamu saya.” Kesenangan yang dimaksud yaitu kesenangan psikis (jiwa), bukan kesenangan sebagaimana yang dipahami oleh utilitarianisme. Bagi utilitarianisme, kesenangan tersebut dipahami sebagai utility, yaitu dalam pengertian materi. Jadi, kesenangan menurut utilitarianisme adalah hanya kesenangan materi.

Boleh jadi, rasa senang itu sebetulnya muncul karena ada rasa altruistik dalam diri Banawir. Altruistik adalah sifat mementingkan orang lain. Kita sebetulnya dalam kehidupan sehari-hari dapat merasakan rasa itu. Ketika kita meninggalkan ego dan mengedepankan sifat altruistik dalam bentuk menolong orang lain, maka yang timbul adalah rasa senang. Rasa yang luar biasa berpengaruh bagi kepribadian seseorang.

Ungkapan Banawir: ”Alhamdulillah, Allah memberi kesempatan saya untuk membantu orang lain,” menunjukkan kesyukurannya pada Allah SWT. Secara implisit ungkapan ini menunjukkan bahwa apa yang ia lakukan sebetulnya merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT. Ini menyangkut aspek spiritual dari Banawir. Artinya, apa yang ia lakukan sebagai aktivitas kehidupan sehari-hari (dalam hal ini membuat dan menjual jamu) sebetulnya bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan ibadah. Di sini Banawir merasakan kehadiran Allah SWT.

Pada kasus satu tersebut kita dapat melihat bahwa usaha yang dilakukan oleh Banawir menghasilkan tiga hal bagi dirinya, yaitu: uang, rasa altruistik dan senang, serta rasa kehadiran Allah SWT. Jika kita perhatikan, maka uang yang dimaksud di sini adalah penghasilan yang diperoleh dalam bentuk materi, yaitu penghasilan berupa hasil penjualan jamu. Sementara, rasa altruistik dan senang juga merupakan “penghasilan” pada tingkat psikis yang diperoleh Banawir akibat aktivitasnya menjual jamu. Kemudian, rasa kehadiran Allah SWT yang muncul ketika melakukan usaha tersebut juga dapat dikatakan sebagai “penghasilan” spiritual yang diperoleh Banawir. Hal yang mirip juga akan kita jumpai pada kisah nyata kedua.

Kisah nyata (2): Emba, Nelayan yang Berdagang Ikan
Emba (50 th) adalah seorang nelayan. Ia memiliki sebuah perahu ukuran besar di kampungnya. Dengan tiga orang mitranya (yang sekaligus adalah tetangganya dan bahkan salah satu diantaranya masih sanak famili) pergi ke laut untuk ”menangkap” ikan. Biasanya jika pergi ke laut perlu waktu 3-4 hari. Setelah mendapat ikan, istrinya membawa dan menjual ikan hasil tangkapan tersebut ke pasar. Dalam waktu 2-3 hari semua ikan biasanya sudah terjual. Sebagian ikan sebelum dijual diproses di rumah untuk pengawetan alami, misalnya diasap atau dikukus dan sebagian dijadikan ikan asin.

Setelah semua ikan terjual, pada hari yang ditetapkan biasanya Emba memanggil mitranya untuk membagi-hasil penjualan ikan. Pada pertemuan tersebut Emba dan istrinya memberikan informasi tentang hasil penjualan dan total biaya yang telah dikeluarkan. Informasi ini diberikan secara jujur dan transparan. Kemudian hasil yang diperoleh (selisih lebih penjualan atas biaya) dibagi kepada mitra berdasarkan kesepakatan pada pertemuan tersebut. Perlu diketahui besarnya pembagian ini tidak selalu sama dengan kejadian tangkapan lainnya, tergantung pada kontribusi kerja masing-masing mitra pada saat berangkat ke laut dan kembali lagi ke darat. Bila terjadi kerugian, biasanya Emba menanggungnya sendiri secara ikhlas. Itu dilakukan karena Emba tahu bahwa semua mitranya tergolong miskin. Emba sudah menganggap semua mitranya sebagai saudara sendiri.

Biasanya, ketika Emba mengundang para mitra untuk mendistribusikan bagi-hasil, wajah mereka begitu ceria. Mereka senang karena bakal menerima uang hasil jerih payah selama melaut. Keceriaan tersebut sekaligus menunjukkan kepuasan mereka atas hasil yang diperoleh.

Hikmah kisah nyata (2) ini mirip dengan kisah nyata (1). Pertama, jelas Emba memperoleh uang dari hasil penjualan ikannya. Hasil penjualan ikan ini tidak lain adalah penghasilan materi. Kedua, dalam proses usaha yang ia lakukan ia selalu menganggap mitranya sebagai saudaranya sendiri. Rasa persaudaraan ini berlangsung sepanjang proses usaha; mulai persiapan berangkat ke laut hingga sampai pendistribusian bagi-hasil, dan bahkan ketika masuk pada siklus berikutnya yaitu persiapan berangkat ke laut. Tidak hanya rasa persaudaraan yang muncul, rasa senang juga ada pada sejak proses awal hingga akhir. Rasa senang ini secara alami muncul karena semata-mata kuatnya rasa persaudaraan. Tidak ada konflik yang cukup berarti di antara mereka. Jika ada masalah kecil, biasanya diselesaikan secara terbuka. Rasa senang yang diekspresikan dalam keceriaan merupakan bagian lain yang selalu timbul dalam proses usaha yang dilakukan Emba dan mitranya. Rasa ini sangat membatu mereka untuk bekerja tanpa lelah dan memberikan motivasi yang tinggi.
Pada kisah nyata kedua ini, aspek spiritual tampak pada keikhlasan Emba pada saat terjadi kerugian. Keikhlasan tersebut di samping memang aspek spiritual juga didukung oleh rasa persaudaraan yang kuat. Dengan rasa persaudaraan yang kuat ini, rasa ikhlas begitu mudah muncul. Perlu diketahui bahwa Emba adalah seorang muslim yang sangat alim. Di kampungnya, beliau dikenal sebagai orang yang pernah nyantri pada ulama kharismatik dan terkenal seperti KH. Moh. Cholil, salah seorang pendiri Nahdatul Ulama (NU). Tidak jarang juga Emba bertindak sebagai imam sholat di mesjid. Para mitranya sangat menghormati Emba, demikian juga masyarakat di sekelilingnya.

Sedangkan kisah nyata tiga tentang Aiti, sosok anak yang polos dan ikhlas.

Kisah nyata (3): Aiti yang Berjualan Es Lilin
Aiti (10 tahun) berjualan es lilin di sekolahnya. Dia berjualan sebetulnya bukan untuk mencari uang bagi kebutuhannya sendiri, tetapi untuk sekolahnya. Di kelasnya, Pak Guru punya kreativitas untuk mengumpulkan dana keperluan bersama yaitu dengan cara berjualan es lilin di sekolah. Es lilin tersebut dikulak dari pabrik yang lokasinya tidak jauh dari sekolah. Setiap bulan biasanya Pak Guru memilih dua orang siswa untuk mengulak dan menjual es di sekolah. Salah satu dari siswa tersebut adalah Aiti.

Aiti menerima tugas itu dengan senang hati, karena bagi dia tidak ada target penjualan setiap harinya. Pabrik espun juga memberikan kelonggaran. Artinya, jika pada suatu hari es tersebut terjual hanya 75% (atau berapun yang terjual), maka sisanya dapat dikembalikan ke pabrik. Menjelang pulang sekolah, Aiti biasanya menghitung besarnya total penjualan dan besarnya biaya kulaan (cost) yang harus dibayarkan ke pabrik. Lebihnya (margin) yang diperoleh oleh Aiti semuanya diserahkan ke sekolah. Di sini, Aiti sama sekali tidak mendapatkan bagian dari usahanya menjual es. Bagi Aiti hal itu tidak masalah, malah ia senang sekali berjualan karena ia lakukan dengan teman-temannya sambil bermain.

Dalam pikiran Aiti yang polos tidak terbersit keinginan untuk mendapatkan sedikit bagian dari margin yang ia perolah pada saat ia menjual esnya. Ia enjoy saja. Setiap harinya ia ceria, berjualan sambil bercengkrama dengan teman-temannya pada saat jam istirahat sekolah. Dari apa yang ia lakukan, sebetulnya ia dapat memperoleh bagian dari keuntungan hasil penjualan es lilinnya. Tetapi ia tidak melakukan itu. Ia menyerahkannya kepada sekolah untuk digunakan kepentingan bersama semua siswa. Dari kasus Aiti ini, Aiti mendapatkan uang (meskipun tidak diambil, tapi diserahkan ke sekolah) dan mendapatkan kesenangan, yaitu menjual es sambil bermain dengan teman-temannya di sela-sela waktu istirahat sekolah. Jadi, di sini ada nilai-tambah ekonomi dan psikis. Nilai-tambah psikis terdiri dari rasa senang dan altruistik. Rasa altruistik ini ada pada Aiti, karena ia tidak memikirkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Terbukti ia memberikan uang hasil penjualan esnya pada sekolah.

Dalam masyarakat modern, biasanya yang menjadi perhatian utama dalam melakukan usaha adalah uang. Artinya, orang melakukan usaha semata-mata untuk mendapatkan penghasilan dalam bentuk uang. Dari penghasilan ini kemudian diputar lagi untuk mendapatkan penghasilan uang lagi, begitu seterusnya. Dari uang diputar sedemikian rupa dan dirobah menjadi uang lagi. Sederhananya, usaha yang dilakukan oleh manusia modern pada dasarnya mentransformasi materi untuk menjadi materi yang lebih besar (working capital).

Pola berpikir demikian itu cukup “wajar,” karena manusia modern hanya menganggap bahwa kebahagiaan itu adalah terletak pada materi. Tambahan lagi pemikiran ekonomi modern lebih banyak ditekankan pada maksimasi utility (kepuasan individu).

Hikmah dari tiga kisah nyata di atas sudah dapat dilihat bahwa dalam satu kegiatan bisnis, pelaku bisnis sekaligus mendapatkan beberapa bentuk kesejahteraan, yaitu mulai dalam bentuk uang sampai pada rasa kehadiran Allah SWT. Uang, sebagaimana dalam kasus di atas, adalah nilai-tambah ekonomi yang diperoleh dari usaha yang dilakukan. Bagi dunia bisnis modern, uang sebagai nilai-tambah ekonomi (economic value-added) dan dianggap sebagai “Tuhan” sehingga menjadi sesuatu yang dianggap penting, sangat utama, dan “dipuja”. Dunia bisnis modern melakukan reduksi yang kebablasan atas realitas kehidupan hanya pada realitas materi. Sehingga jika sebuah bisnis tidak menghasilkan materi (uang) secara optimal, maka bisnis tersebut ditutup. Jadi, bisnis hanya sekedar alat untuk mendapatkan materi.

Pandangan bisnis modern yang kebablasan tersebut sangat bertentangan dengan ketiga kisah nyata diawal. Berdasar pada ketiga kisah nyata di atas, dapat kita ketahui bahwa bisnis juga ada nilai-tambah mental (mental value-added) berupa rasa altruistik, rasa senang, dan rasa persaudaraan, serta nilai-tambah spiritual (spiritual value-added) berupa rasa ikhlas dan adanya rasa kehadiran Allah SWT. Penyatuan nilai-tambah mental dan spiritual dengan nilai-tambah ekonomi ini merupakan satu tahapan menuju nilai-tambah syari’ah. Dalam konteks bisnis yang berbasis syari’ah, tentu saja setiap bisnis wajib dilakukan berdasarkan etika syari’ah. Etika syari’ah yang menyangkut cara bagaimana nilai-tambah tersebut diperoleh, diproses, dan didistribusikan. Dengan demikian, wujud keshalehan sosial dalam dunia bisnis ketika tujuan bisnis tidak hanya “memuja uang”, tetapi juga mementingkan orang lain; ikhlas; dan selalu merasakan kehadiran Allah SWT.

***
[dwi.s.]

Hutang Produktif

Kita telah melihat begitu banyak fakta. Saudara, teman, tetangga atau orang lain terjebak pada pola perilaku hutang konsumtif. Yang pada akhirnya justru semakin mempersulit kondisi keuangan. Terutama dari contoh kisah nyata pada pembahasan tentang hutang = beban. Pertanyaannya, bagaimana penjelasan lebih lanjut tentang cara menjadikan hutang tidak lagi menjadi beban? Bagaimana supaya hutang justru akan menambah penghasilan kita? Jawabnya ada di kisah nyata yang dialami oleh Bu Harti (33).

Malam itu, aku melihat Pak Fayis (37, suami bu Harti) sedang menyiapkan kompor gas barunya. Memasang perlengkapan kompor itu supaya siap pakai.
Karena penasaran, aku pun bertanya, “Wah, kompor baru nich?”
“Ya mas, buat ibunya anak-anak ini goreng gorengan,” jawab Pak Fayis sembari mengencangkan baut-baut itu.
“Tapi belum bisa dipakai. Belum ada tabungnya,” sambungnya.
“Lho kok nggak sekalian beli tabungnya?” tanyaku
“He..belum ada uang mas. Biar kita nunggu saja, kumpulin duit dulu,” jawabnya
“Emang berapa harga tabungnya?” tanyaku penasaran
“Yang baru 60 ribu. Kalo tambah gasnya ya jadi 130 ribu,” jawabnya
“Oo..,” kataku sembari melihat Bu Harti dan anaknya yang duduk di samping Pak Fayis.

Sekali lagi aku melihat Bu Harti. Keceriaan tampak diwajahnya. Aku yakin, ada rasa senang di hatinya. Hanya saja, rasa senang itu harus ditunda untuk beberapa minggu lantaran kompor gas itu belum bisa difungsikan sebagaimana mestinya. Aku pun berbalik. Aku kembali ke kamar. Melihat sisa uang yang ada di amplop, ada 210 ribu. Aku ambil 130 ribu, kemudian kembali lagi untuk menemui Pak Fayis.

Aku pastikan sekali lagi, “Benar pak, dengan 130 ribu bisa beli tabung gas plus isinya.”
“Ya mas,” jawabnya
“Kalo begitu pakai saja uang ini dulu. Beli tabung biar kompornya bisa cepet dipakai,” pintaku sambil menyodorkan uang 130 ribu itu.
Dia menolak. Terlihat sungkan, “Wah, nggak mas. Saya nggak mau ngrepotin.”
“Insya Allah nggak ngrepotin pak. Ini kemaren saya dapat pembayaran termin dari proyek. Lagian dua hari lagi saya gajian. Terimalah pak, biar saya juga dapat pahala, he..” bujukku
Dia menatapku seraya berkata, “Tapi uang ini saya anggap pinjem ya mas. Ntar kalo pas ada untung saya kembalikan.”
“Ya, saya ikut saja. Yang penting sekarang beli tabung biar ibu bisa cepet goreng,” kataku dengan hati lega.

Esok harinya. Sepulang kerja aku disambut Bu Harti dengan rasa senang yang tampak dari wajahnya, “Alhamdulillah mas, tadi siang ada dua ibu-ibu yang ambil gorengan lagi.”
“Wah, alhamdulillah bu. Jadi tambah banyak yang bantu jualin,” jawabku
Sambil menyapu lantai Bu Harti bercerita, “Ya sebenarnya sudah dari dulu mas, banyak ibu-ibu yang mau ikut jualin. Tapi saya belum bisa nyanggupin.”
“Lho kenapa bu?” tanyaku
“Kemaren kan kompornya masih pakai sumbu, panasnya lama. Jadi gorengnya juga ikut lama,” jelasnya
“Kalo kemaren cuma bisa goreng 120 gorengan. Campur, pisang, bakwan, tempe sama tahu. Tadi pagi bisa nambah jadi 250-an gorengan. Pakai kompor gas itu gorengnya bisa lebih banyak, jauh lebih untung.” Tambahnya
Aku pun tersenyum.

Kisah nyata ini tentu dapat menjadi inspirasi buat kita. Hutang menjadi alat pendongkrak penghasilan. Syaratnya, hutang itu dialokasikan untuk keperluan modal usaha. Uang hasil pinjaman itu dapat digunakan untuk operasi usaha. Pada akhirnya dapat menghasilkan keuntungan untuk melunasi hutang tersebut. Strategis sekali ketika uang pinjaman itu diwujudkan dalam bentuk asset produktif, seperti tabung gas untuk usaha makanan. Pada kasus ini, efeknya jelas terlihat pada penambahan kapasitas produksi.

Di lain waktu, Bu Harti juga pernah bercerita kalau dia menjual seharga Rp 350/gorengan. Jika dia berhasil menjual 120 gorengan berarti pendapatannya sebesar Rp 42.000/hari. Dalam sebulan pendapatannya mencapai Rp 1.260.000. Sedangkan biaya operasionalnya tidak lebih dari Rp 500.000/bulan. Jadi, keuntungannya mencapai Rp 760.000/bulan.

Setelah mendapatkan pinjaman modal Rp 130.000 untuk beli tabung gas sehingga produksinya naik menjadi 250 gorengan/hari. Kenaikan produksi ini jelas berpotensi untuk menaikkan pendapatannya, Rp 350 x 250 = Rp 87.500/hari. Selama sebulan maksimal mendapat Rp 2.625.000/bulan (Rp 87.500 x 30 hari, hari minggu dan hari libur tetap jualan). Kemudian dikurangi biaya operasional menjadi Rp 2.125.000/bulan (dari Rp 2.625.000 - Rp 500.000. Fantastik, hanya dengan pinjaman Rp 130.000 bisa menambah penghasilan Rp 1.365.000/bulan, yaitu dari Rp 2.125.000 - Rp 760.000. Bisa ditebak apa yang terjadi jika Pak Fayis/bu Harti menolak pinjaman itu. Mereka akan kehilangan peluang untuk mendapatkan keuntungan Rp Rp 1.365.000/bulan!

***
[dwi.s]

Hutang Konsumtif

Demo masak di rumah Bu Tuti membuat Bu Endang nggak bisa tidur. Pasalnya, alat masak serba-guna itu udah berhasil memikat hatinya. ”Bisa dikredit kok Pak...,” rayu Bu Endang pada suaminya. Kalo pas masak, Bu Endang terlihat cemberut sembari berkata, ”Coba kalo punya alat itu, pasti nggak-bakal repot begini.”

Sama persis dengan Ibunya, Edo terbayang-bayang motor gede yang selalu dibawa temennya ke kampus. Kalo pas lagi ngelap motor bebek itu pasti ngomong, ”Pak, kapan motor Edo diganti? Modelnya dah kuno nih!”

Lebih rame lagi Lita, adik Edo satu-satunya, udah lama banget pingin Hp 3G. Apalagi kalo pas ngrumpi bareng temen gaulnya, pasti yang dibahas Hp 3G. Katanya, ”Mau 3G...mau 3G...mau ganti Hp 3G...”

Kalo udah begini, raut muka Pak Dodo (suami Bu Endang, bapaknya Edo dan Lita) jadi kayak benang kusut. Padahal, belum juga selesai cicilan mesin cuci, udah minta alat masak baru. Hutang motor bebek juga belum genap dilunasi, udah mau motor yang baru lagi. Lita lagi, baru kemaren ganti Hp yang ada kameranya, sekarang minta yang 3G. Uang lagi, hutang lagi.

Mau dibilang repot, tapi katanya itu tuntutan keluarga. Gaji pokok udah dipotong buat hutang yang dulu. Kini, mau nggak mau harus gali lobang tutup lobang. Alasannya sederhana, biar bisa jadi suami dan ayah yang membahagiakan istri dan anak.

Beda dengan keluarga Pak Dodo, keluarga Pak Sugeng lebih suka beli barang secara tunai. Istrinya lebih suka ikut arisan daripada beli kredit. Begitu juga anak-anaknya lebih suka nabung kalo mau beli apa aja. Terkadang, kalo terdesak, misal pas anaknya sakit dan harus nginap di rumah sakit, baru Pak Sugeng ambil hutang di BMT. Selain itu, Pak Sugeng berani ambil hutang kalo cuma buat modal. Misalnya, dulu istrinya dapet pesanan catering, Pak Sugeng baru mau ambil hutang buat modal catering itu.

Soal hutang. Mungkin, sebagian kita ada yang mirip dengan model keluarga Pak Dodo. Atau, mirip keluarga Pak Sugeng. Atau mungkin campuran antara keduanya? Apapun model kebijakan keluarga soal hutang tetap ada kekurangan dan kelebihan.

Awal dari munculnya hutang terletak pada kebutuhan (need) atau bahkan hanya keinginan (want). Dalam prakteknya, seringkali dua kata ini menjadi sangat membingungkan. Mana sebenarnya yang dimaksud dengan ”kebutuhan” dan mana yang disebut sebagai ”keinginan”? Apapun jawabannya, keduanya sama-sama membutuhkan uang untuk memenuhinya.
Jika ada uang, langsung dibayar tunai. Jika tidak ada uang, berarti hutang dulu. Karena itu, ilmu akuntansi menyebut hutang sebagai dampak dari transaksi yang dilakukan secara tidak tunai.

Dengan hutang orang bisa memiliki barang atau menikmati jasa dalam waktu yang cepat. Hanya saja, yang seringkali menjadi perbedaan mendasar antar keluarga yaitu ”transaksi apa” yang harus dibayar dengan cara berhutang? Atau, hutang itu digunakan untuk apa?

Contoh kasus di atas, keluarga Pak Dodo lebih suka mengambil hutang untuk keperluan hidup yang lebih bersifat konsumtif. Seperti untuk beli peralatan masak, motor, atau beli Hp. Konsumtif berarti penggunaan barang tidak dapat menghasilkan uang. Kecuali, barang itu memberikan kontribusi dalam menambah pendapatan (uang) keluarga. Dampaknya, hutang konsumtif justru akan menjadi beban-tetap (fixed cost) bagi keluarga. Jadi, nilai ekonomi dari hutang itu tidak akan pernah muncul. Dan bahkan menjadi beban diluar kesanggupan keluarga. Oleh karena itu, dalam posisi ini, hutang sama dengan beban.

Pertanyaannya, bagaimana supaya hutang mempunyai nilai ekonomi?

Jawabnya seperti yang dilakukan Pak Sugeng, yaitu menjadikan hutang sebagai modal bisnis. Jika hutang dijadikan modal akan memungkinkan menjadi produktif. Hutang dapat bernilai ekonomi, tidak hanya untuk keluarga tetapi juga untuk orang lain. Ketika hutang produktif, maka pembayaran hutang akan lebih ringan karena hutang itu dapat menjadi capital-work. Dari sinilah hutang memberikan pemasukan tambahan buat keluarga. Oleh karena itu, pada posisi ini, hutang sama dengan modal.

Terlihat jelas, kalo hutang untuk tujuan konsumtif hanya akan menambah beban keluarga. Namun sebaliknya, hutang yang digunakan untuk tujuan produktif mampu menghasilkan uang tambahan. Disinilah letak tips awal dalam manajemen hutang yaitu jadikan hutang sebagai modal.

Kini giliran anda yang menentukan: apakah hutang akan digunakan untuk tujuan konsumtif atau produktif?

Dan apapun jawaban anda, ingatlah pada sebuah atsar, ” الدين هم بالليل ومذ لة بالنهار (Hutang adalah kecemasan di malam hari dan kehinaan pada siangnya.)”

***
[dwi.s]

Indahnya Hutang Piutang

Sudah dua minggu ini Pardi susah memejamkan mata. Bukan lantaran banyak nyamuk, bukan karena kasurnya nggak empuk tapi karena utang. Kalo siang, hati jadi was-was mau melangkah ke luar rumah. Mau lari juga percuma, semuanya jadi serba susah. Yang ada dipikiran cuma gimana caranya bayar utang itu. Utangnya sich cuma 100 ribu, tapi kalo memang uang di dompet nggak cukup tuk bayar, gimana? Terpaksa, jurus terakhir harus dikeluarkan. Jurus pertahanan level pendekar : ”tutup lobang gali lobang.”

Disisi lain, Sartono kudu marah-marah. Uang yang dipinjamkan ama tetangga nggak balik-balik. Yang susah malah istrinya, karena Sartono marah-marahnya di rumah. Soale mau nagih-terus juga nggak enak. “Pekewuh,” katanya. Nasib buat si peminjam karena Sartono mengumbar aibnya (yang suka menunda-nunda bayar utang) sama tetangga yang lain.

Inilah sekilas potret kita. Mungkin sebagian kita sekarang ada diposisi Pardi yang terhimpit utang? Atau mungkin sebagian kita lagi ada diposisi Sartono yang suka ngasih utang (punya piutang)? Atau mungkin bersamaan, dalam satu-waktu ada diposisi Pardi dan Sartono?
Soal utang-piutang itu sudah biasa. Kalo kita nggak punya duit dan lagi ‘kepepet’ ya kudu ngutang. Terus, kalo memang tetangga lagi butuh duit dan kita lagi ada duit, ya dipinjemi. “Gitu aja kok repot,” kata Gusdur.

Masalahnya, kenapa banyak orang kehilangan kepercayaan gara-gara utang? Kenapa gara-gara duit-ribuan kita harus ribut sama tetangga? Kenapa transaksi keuangan itu jadi salah satu penghancur ukhuwah di antara kita?
Bagi umat Islam, utang-piutang merupakan bentuk muamalah iqtishadiyah yang mubah (boleh) untuk dilakukan. Tips-tips jitu telah disajikan oleh Rasulullah Saw. Bagi orang yang punya utang, Rasulullah Saw memberi isyarat, “Barang siapa berhutang sedangkan ia benar-benar berniat akan melunasinya, maka Allah akan menugaskan sekelompok malaikat untuk menjaganya dan mendoakan baginya sehingga ia dapat melunasinya.”

Niat mengembalikan, inilah yang sering lalai saat pinjam duit. Biasanya yang ada juga pinjem duluan, soal ngembalikan belakangan aja. Saran Rasulullah Saw dalam hadis itu, bagi orang yang pinjem duit mesti punya kesungguhan untuk mengembalikan. Misalnya saja, pinjem duit 100 ribu. Harus dicicil 10 kali selama sepuluh hari. Kalo niatnya baik ya dikembalikan sesuai kesepakatan itu. Jadinya, orang yang minjami duit juga bisa tersenyum dan nggak marah-marah. Selain itu, kepercayaan juga nggak hilang. Karena orang Jawa itu punya ilmu ‘titen’ (mengamati), jadi kalo orang sudah berkali-kali membuat orang lain kecewa ya akhirnya dicap jelek. Di perbankan misalnya, nasabah nakal yang susah ngembalikan pinjaman langsung masuk black list (daftar hitam). Kalo sudah masuk daftar itu dijamin susah dapat pinjaman lagi. Ditambah lagi kalo pegawai banknya ngomong ke bank lain kalo nasabah itu pernah kasus kredit macet. Susah dech jangka panjangnya karena nggak ada lagi orang yang percaya.

Sebenarnya, kemauan untuk membayar utang merupakan wujud syukur. Bersyukur karena Allah telah memudahkan jalan riziki (lewat pinjaman) ketika pas dihimpit kesulitan keuangan. Selain itu, kesungguhan untuk membayar utang juga merupakan wujud ucapan terima kasih kepada orang yang memberi pinjaman. Karena dialah yang membantu dan membuat hati lega ketika pas lagi butuh duit.

Pernah ada kasus yang tertulis di buku Tanya Jawab Agama (2001), seseorang punya utang pada Fulan. Sewaktu orang tersebut hendak membayar utangnya, ternyata si Fulan telah pindah alamat. Cerita singkatnya, alamat si Fulan tidak terdeteksi dan susah dicari. Pertanyaannya, bagaimana cara orang tersebut melunasi utangnya?
Atas kasus ini, Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih memberi solusi sebagai berikut:
”Untuk mencari alamat Fulan, saudara dapat dengan menggunakan mass media surat kabar atau majalah melalui sudar pembaca. Kalau tidak dapat, maka ada jalan keluar, di antaranya saudara simpan uang itu sebagai amanat untuk diberikan sewaktu-waktu Fulan didapati alamatnya diberikan kepadanya. Agar uang yang anda hutang itu tidak habis nilainya karena inflasi dan hal itu merupakan amanat, belikanlah barang yang harganya stabil, seperti emas. Akan lebih baik lagi kalau uang itu dikembangkan seperti digunakan modal atau dibelikan ternak yang dapat menjadi banyak, nantinya diberikan kepada bersangkutan apabila telah kedapatan alamatnya.
Dalam suatu hadis muttafiq alaih diriwayatkan bahwa ada orang yang belum sempat memberikan uapah kepada buruhnya, kemudian upah itu dibelikan ternak dan setelah menjadi banyak, buruh itu menerima upah itu tetapi telah menjadi ternak yang banyak sekali jumlahnya yang kemudian diserahkan kepada buruh itu oleh majikannya, dan majikan itu dinilai sebagai orang yang ikhlas dan pemegang amanat yang terpercaya. Jalan keluar yang lain ialah kalau di tempat anda ada badan yang mengelola harta umat Islam yang dimasa dulu bernama Baitul Maal Lilmuslimin, dapat dititipkan kepada badan tersebut. Atau kalau memang telah lama tidak didapati alamatnya dan anda yakin tidak akan ditagih lagi, serahkan saja pada lembaga sosial Islam untuk dapat dimanfaatkan dengan niat anda telah mengembalikan hutang anda kepada Fulan tersebut.”

Melihat kasus di atas, pantaslah jika Rasulullah Saw memberi nasehat, “Yang terbaik di antara kamu ialah yang terbaik dalam cara pelunasan hutangnya.” Jadi, kewajiban utama bagi peminjam adalah melunasi utangnya.

Pada posisi ini, banyak anggapan kalo orang yang punya utang itu hina. Orang yang pinjem duit itu ngrepotin orang lain. Opini masyarakat ini seperti norma tak tertulis, menjadikan pihak peminjam pada posisi yang negatif. Padahal tidak demikian, peminjam juga dapat menjadi peminjam yang profesional. Caranya, peminjam mengembalikan duitnya tepat waktu. Lebih mulia lagi kalo dibayar sebelum jatuh tempo. Buktinya, banyak bank memberikan bonus (reward) pada nasabahnya yang bisa melunasi pinjaman (pembiayaan) sebelum jatuh tempo. Jadi, tidak heran kalo hubungan nasabah dengan bank semakin tambah akrab karena saling menguntungkan.

Kalo diposisi si pemberi utang, pasti kesannya positif. Orangnya punya duit, baik hati, suka membantu, tabah kalo susah nagihnya, dan sederetan kebaikan lainnya. Tapi, ini khusus untuk si pemberi pinjaman tanpa bunga (bukan renternir/QS. Al-Baqarah 2: 278).

Minjemin duit nggak pakai bunga tapi tetep minta jaminan (QS. Al-Baqarah 2: 283). Khusus di posisi ini, Rasulullah Saw memberikan kabar gembira, ”Barang siapa memberikan pinjaman satu dinar sampai waktu tertentu, maka akan dicatatkan baginya pahala sedekah, setiap harinya, sampai saat waktu pembayaran. Dan apabila telah sampai waktu pembayarannya, lalu ia mengundurkannya setelah itu, maka akan dicatat baginya setiap harinya pahala atas pinjaman itu.”

Kenyataannya, para pemberi pinjaman sering di cap jelek (negatif) oleh masyarakat. Kesan negatif itu muncul karena si pemberi pinjaman sering: (1) membebankan bunga pada uang pokok utang (seperti renternir), dan (2) cara menagihnya sangat menyakiti hati peminjam.

Untuk kasus ini, al-Qur’an memberikan solusi yaitu ”...bagimulah pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak teraniaya.” (QS. Al-Baqarah 2: 279). Artinya, pemberi pinjaman hanya meminta uang pokoknya saja tanpa bunganya. Yang kedua, hadis melalui Ibn Majah, Ibn Hibban dan al-Hakim dari Umar serta Aisyah, ”Ambillah hakmu dengan cara secukupnya dan seadil-adilnya, sepenuhnya ataupun tidak, niscaya Allah akan menghisabmu dengan hisab yang ringan.” Kata seadil-adilnya dapat diwujudkan dalam bentuk perkataan (waktu menagih) yang ahsan kariman.

Selain itu, Al-Ghazali dalam Kitab Adab al-Kasb wa al-Ma’asy menceritakan bahwa Rasulullah Saw pernah menyaksikan seorang laki-laki terus-menerus membuntuti seorang lainnya untuk menagih utang. Maka Rasulullah Saw mengisyaratkan kepadanya agar ia bersedia mengurangi setengah dari jumlah utang tersebut. Dan subhanallah, si pemberi utang menyetujuinya. Pengurangan utang tersebut dilakukan karena si peminjam dalam kondisi muflis (bangkrut).

Ketika peminjam belum mampu mengembalikan duit yang ia pinjam, maka si pemberi pinjaman memberi perpanjangan waktu. Mungkin, sebagian orang berpikir kalo itu merugikan si pemberi pinjaman. Iya, merugikan kalo ukurannya cuma duit di dunia, tapi jika ukurannya pahala akherat maka akan lain urusannya. Hadis melalui Muslim memberikan kabar gembira yaitu, ”Barang siapa memberi kesempatan kepada si penghutang yang dalam kesulitan untuk mengundurkan waktu pelunasan hutangnya, atau meringankan perhitungan baginya, maka Allah Swt akan memudahkan bagi hisabnya kelak di hari kiamat.” Catatan penting dari hadis ini bahwa mengundurkan waktu pembayaran utang hanya dilakukan jika si peminjam benar-benar dalam keadaan kesulitan.

Jadi idealnya, utang-piutang akan menjadi indah dan berjalan lancar jika peminjam tersenyum pas dapat duit pinjaman dan orang yang meminjami akan tersenyum pas duitnya dikembalikan. Kedua pihak sama-sama tersenyum. Jika semua ini dapat dilakukan, maka utang-piutang akan menjadi indah.

***
[dwi.s]

Psiko-financial

“Ini 10 ribu mbak,” Wawan menyodorkan sepuluh lembar uang ribuan itu.
“Lho, kok cuma 10 ribu? 30 ribu mas,” tanya mbak Harti.
“Uang ini untuk kamu mbak.”
“Maksudnya?” mbak Harti semakin penasaran.
“Kan uang untuk bayar komputer 30 ribu per bulan. Nah, nggak usah bilang ibu kos aja kalo aku bawa komputer. Jadi, uang 10 ribu ini buat kamu mbak,” Wawan menjelaskan maksudnya.
“Wah mas, kalo ibu kos tau nanti bisa repot,” mbak Harti ragu-ragu
“Lho, kalo kita nggak ngomong kan, ibu kos nggak akan tau. Ntar kalo aku pakai komputer juga diam-diam aja,” Wawan terus merayu.

Mbak Harti pun diam. Sesekali memandang uang ribuan yang ada di genggaman Wawan. Mbak Harti berkata dalam hati, “Wawan anak baru di kos ini. Ibu kos juga sudah tidak pernah lagi ke sini. Jadi benar juga, kalo aku nggak ngomong soal Wawan bawa komputer pasti ibu kos nggak akan tau. Terus, ibu kos sudah kaya sedangkan aku butuh uang.”
“Ya sudah sini. Yang penting kita nggak usah bilang ibu kos. Oya, kamu juga jangan bilang suamiku,” mbak Harti menerima tawaran Wawan sembari menerima uang itu.

Beruntung buat Wawan, beruntung juga buat mbak Harti. Wawan yang seharusnya bayar 30 ribu per bulan karena memakai komputer, kini cuma bayar 10 ribu per bulan. Beruntung juga buat mbak Harti, lumayan ada tambahan 10 ribu per bulan.

Kos Arjuna namanya. Mbak Harti dan suaminya dipercaya ibu kos untuk menjaga 10 kamar itu. Sudah berjalan hampir 6 tahun lamanya. Mereka mendapat tugas untuk menjaga dan merawat Kos Arjuna dengan fasilitas menempati dua kamar untuk kelima anaknya. Setiap bulan, mbak Harti mendapat uang 250 ribu sebagai gajinya. Jelas, uang 250 ribu itu tidak cukup untuk makan dan memberi uang jajan kelima anaknya. Karenanya, suaminya bekerja menjahit (membuat jilbab) di rumah ibu kos. Walaupun sudah bekerja siang malam, mbak Harti dan suaminya masih serba kekurangan.

***

Kembali ke cerita Wawan. Dua bulan telah berlalu, tidak ada masalah. Hingga Andi, cowok asal Semarang yang menempati kamar no.1 itu, memutuskan untuk membawa komputer. Andi berniat menyelesaikan skripsi.ditahun ini. Andi pun menemui mbak Harti yang sedang membersihkan kamar mandi.
Dengan santai Andi berkata, “Mbak, aku juga mau bayar 10 ribu.”
“Lho, bawa komputer di kos ini bayarnya 30 ribu per bulan mas,” jawab mbak Harti.
“Ah, Wawan juga cuma bayar 10 ribu. Iya kan?”
Mbak Harti berhenti membersihkan kamar mandi. Memandang Andi sembari bertanya, “Apa maksudmu?”
“Sudahlah mbak. Nggak usah tanya gitu. Aku dengar semua pembicaraan kalian soal uang komputer itu,” kata Andi dengan nada sinis.
“Dengar dari siapa?”
“Bukan dari siapa-siapa. Aku dengar sendiri. Aku sedang di kamar mandi waktu kalian lagi tawar menawar, gimana?”
Mbak Harti menundukkan muka dan berkata, “Mas, sebenarnya aku takut kalo ibu kos dan teman-teman yang lain tau soal uang komputer itu. Walaupun aku dapat uang tapi aku sering was-was kalo tiba-tiba ibu kos datang dan melihat kalo Wawan bawa komputer. Sekarang kamu juga nawari aku 10 ribu untuk bawa komputer. Aku jadinya semakin takut mas.”
“Pikirin dulu aja mbak, dari pada aku bilang ke ibu kos dan teman-teman kos lainnya. Pasti ibu kos lebih marah. Dan, teman-teman juga marah karena mereka sudah bayar full 30 ribu per bulan ke ibu kos. Gimana?” Andi mulai mengancam.
Mbak Harti mulai terpojok. Jika merima uang dari Andi pasti hari-harinya akan bertambah diselimuti rasa takut. Tapi kalo menolak uang dari Andi, bisa-bisa dia tidak dipercaya lagi oleh ibu kos.
Mbak Harti tidak berpikir panjang lagi, “Ya sudah, mana uangnya.”
“Nah gitu dong mbak. Kan jadinya sama-sama enak,” kata Andi sembari menyerahkan uang 10 ribu itu.
Andi meninggalkan mbak Harti di depan kamar mandi. Melangkah meninggalkan mbak Harti yang terdiam memegang uang 10 ribu itu

***

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Tak terasa sudah empat bulan mbak Harti mendapat tambahan uang dari Wawan dan Andi. Saat itu, ibu kos masih belum tau.
Hingga suatu hari. Ibu kos memanggil suami mbak Harti, “Kayyis, kenapa uang bayar listrik kos Arjuna naik?”
“Ya bu, saya juga belum tau pastinya. Nanti saya cek dulu,” jawab mas Kayyis.
Jawaban mas Kayyis kurang melegakan hati ibu kos. Tak tahan lagi karena bayar listriknya semakin naik, ibu kos memutuskan untuk datang ke kos. Kunjungan mendadak dari ibu kos otomatis mengejutkan penghuni kos Arjuna. Ditambah lagi raut wajah ibu kos yang kurang bersahabat.
“Mbak Harti, anak-anak dipanggil. Kumpul di ruang tengah,” pinta ibu kos.
Mbak Harti pun bergegas memanggil anak-anak kos, “Rachmat, Danis, Riman, semuanya kumpul. Ibu kos datang.”
“Wah pasti nagih uang kos nih,” gumam Rachmat.
Ibu kos mulai bicara, “Langsung saja. Saya minta kesediaan kalian untuk membuka kamar masing-masing. Saya mau cek.”
“Baik bu,” jawab anak kos serempak.
Ibu mulai cek kamar satu per satu, “Kamar no.1 dan no.10 kok masih terkunci. Dimana penghuninya?”
“Belum pulang bu,” jawab mbak Harti.
Ibu kos melihat mbak Harti, “Kalo gitu buka pintunya dengan kunci cadangan. Kamu masih simpan kan mbak.”
“Masih bu,” jawab mbak Harti sembari melangkah mengambil kunci cadangan itu.
Jantung mbak Harti berdebar-debar kencang. Apa yang ditakutinya selama ini akan terjadi. Nafasnya semakin tidak teratur.
“Tolong bukakan dua kamar itu mbak,” pinta ibu kos.
Kebetulan kamar no.1 dan no.10 saling berhadapan. Setelah selesai membuka pintu kamar no.1, mbak Harti membuka pintu kamar no.10. Ibu kos pun masuk kamar no.1 untuk melihat-lihat.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala ibu kos bergumam, “Nah, ini dia penyebabnya”
Ibu kos bergegas menemui mbak Harti di kamar no.10. Belum sempat bertanya soal komputer yang ada di kamar no.1, ibu kos dikejutkan lagi dengan adanya seperangkat komputer di kamar no.10. Jelas terlihat wajah ibu kos merah. Mbak Harti menundukkan kepala.
Ibu kos menggelengkan kepala, “Wah, ini sudah nggak bener mbak. Di catatan yang kamu berikan, dua kamar ini tidak pakai komputer. Ternyata mereka bawa komputer. Sudah berapa lama mbak?”
“Kamar ini sudah 6 bulan. Kalo kamar no.1 sudah empat bulan bu,” jawab mbak Harti dengan suara gemetar. Wajahnya pucat.
Ibu kos menatap mbah Harti dengan tatapan tajam, “Pantas, bayar listriknya melonjak.”
Ibu kos keluar dari kamar no.10. Mbak Harti mengikutinya dari belakang.
“Bu saya minta maaf. Saya mengakui kesalahan saya,” kata mbak Harti di depan anak kos lainnya.
Ibu kos duduk di kursi ruang tamu, mengeluarkan buku catatan dan pulpen. Sambil mencatat sesuatu, ibu kos bertanya, “Apa kamu menerima uang dari mereka mbak?”
“Iya bu. Saya menerima 10 ribu per bulan dari mereka. Uangnya saya pakai untuk uang saku anak-anak,” jawab mbak Harti.
“Kamu mengulanginya lagi. Dulu kamu makan uang kos, sekarang kamu ambil juga uang komputer. Besok uang apa lagi yang akan kamu ambil?”
Mbak Harti diam. Anak kos tidak berani menyertai pembicaraan itu. Mereka juga tidak tau perihal uang komputer itu. Toh, memang itu urusan mbak Harti dengan ibu kos.
“Saya sudah kehilangan uang. Saya juga merasa dikhianati. Jujur, saya kecewa. Kalian hanya mementingkan diri sendiri. Saya sudah baik dengan kalian, tapi kalian justru menusuk saya dari belakang. Saya juga tidak akan basa-basi lagi, barang-barang Wawan dan Andi segera dipindahkan. Saya minta mereka pindah dari kos ini. Saya takut kalo anak kos lainnya nanti terpengaruh. Saya juga akan cari penjaga kos baru. Dua hari lagi saya ke sini, semuanya harus sudah selesai.” Ibu kos melangkah menuju mobilnya, meninggalkan mbak Harti yang terus meneteskan air mata.

***

Inilah salah satu potret bagaimana seseorang kurang beruntung dalam bergelut dengan uang. Satu potret dari ribuan bahkan milyaran kenyataan yang hadir di depan mata silih berganti. Uang selalu identik dengan materi. Sifat dasar inilah yang sering digunakan untuk membangun paradigma keuangan yang keluar dari nilai-nilai kehidupan. Seolah-olah urusan uang berdiri sendiri, terpisah dari aturan kehidupan. Banyak orang berupaya untuk menaikkan tumpukkan uang yang mereka miliki. Bagaimana uang bertambah lagi dan lagi. Atau juga me-ngerem pengeluarannya. Namun, berapa orang yang tetap memegang nilai-nilai luhur (august values) untuk menambah dan me-ngerem pengeluaran uang itu?

Mbak Harti, Wawan dan Andi jelas secara materi telah merasakan keberuntungan. Mbak Harti mendapat pemasukan tambahan setiap bulannya. Sedangkan Wawan dan Andi juga menikmati uang yang seharusnya mereka keluarkan. Secara materi mereka telah berhasil yaitu berhasil meningkatkan pendapatan dan membatasi pengeluaran. Mereka memiliki kecerdasan financial karena perilaku mereka masih mengedepankan utility (kegunaan) dengan orientasi jangka pendek. Jika menguntungkan secara materi buat mereka, maka pasti akan diambil tanpa berpikir apakah ada pihak yang dirugikan? Jika merugikan secara materi buat mereka, maka jelas ditingggalkan meskipun banyak pihak yang membutuhkannya.

Padahal, disadari atau tidak. Persoalan keuangan tidak semata-mata urusan materi, tetapi juga melibatkan emosi. Sehingga ada rasa dari setiap uang yang didapatkan atau dikeluarkan. Misalnya, kita merasa senang ketika mendapat gaji. Berarti, aktivitas dari mendapatkan gaji ini telah menambah materi dalam bentuk uang sekaligus menambah rasa dalam bentuk kesenangan. Demikian juga, rasa sedih akan muncul ketika kita terlambat menerima gaji. Terlihat, satu aktivitas keuangan berdampak pada dua ranah yang berbeda. Harapannya, materi dan rasa dapat dikembangkan secara positif. Inilah yang kita sebut dengan kecerdasan psiko-financial, yaitu pikiran dan emosi saling melengkapi dalam pengelolaan uang.

Pengembangan potensi kecerdasan psiko-financial seseorang akan terukur dengan bertambahnya nominal uang sekaligus perasaan senang, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga orang lain. Terwujud dalam sigma kepuasan financial. Dengan catatan, bertambahnya nominal uang dan kesenangan itu berdasar pada manfaat yang memiliki multi-effect. Inilah yang disebut dengan maslahah sebagai wujud multi-effect dari kecerdasan psiko-financial.

Berikut ini tabel sederhana yang akan mempermudah memahami perbedaan mendasar antara kecerdasan financial dengan kecerdasan psiko-financial :

Level Standard
Kecerdasan psiko-financial Bertambahnya nominal uang  maslahah
Kecerdasan financial Bertambahnya nominal uang  utility

Seandainya mbak Harti, Wawan dan Andi menggunakan kecerdasan psiko-financial, maka mereka tidak akan mengalami kesedihan dan tentu tidak mengecewakan ibu kos. Karena itu, paradigma kecerdasan psiko-financial memiliki tingkatan yang lebih mulia jika dibandingkan dengan kecerdasan financial yang hanya berorientasi pada utility.

Nah, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memiliki kecerdasan psiko-financial?

***
[dwi.s]

Financial Bebas Risywah

“Kami hanya berani memberikan 5 juta sebagai ucapan terima kasih,” kata John dengan suara yang jelas. Andrean pun berpikir sembari membolak-balik berkas yang diajukan John.
“Tidak, Saya minta 15 juta,” Andrean yakin kalo nilai itu sebanding dengan uang yang akan ia cairkan untuk John.
“15 juta?,” John tercengang. Hampir 15 detik John dan Andrean terdiam. Tidak terdengar suara apapun di telpon itu.
Andrean membuka pembicaraan lagi, “Soalnya, itu bukan hanya untuk saya. Tapi juga untuk yang tanda tangan.”
“Tapi nilai itu terlalu tinggi jika dibandingkan dengan tawaran dari pegawai yang lain,” John masih berusaha menawar.
“Silakan, tapi seperti yang saya katakan kemarin, saya bisa mencairkan pinjaman itu kurang dari 24 jam. Semua sekaligus,” Andrean meyakinkan. Dan sepertinya Andrean ingin menyudahi tawar-menawar itu.
“Ok, besok saya datang ke kantor jam 09.30,” John mengakhiri pembicaraan.

Andrean pun mematikan dan meletakkan HP Nokia 9500 itu di atas meja, persis di samping kanannya. Ia berbaring dan berusaha memejamkan mata.
“Pak Lurah tadi kesini. Nanyain uang itu bisa nggak?,” kata istri Andrean yang tidur di samping kirinya.
“Udah malam, besok aja ngomonginnya,” jawab Andrean.
“Mas, kata Pak Lurah sudah hampir seminggu kamu belum ngasih jawaban. Makanya, tadi kesini. Kalo lewat telpon katanya nggak enak,” istri Andrean menambahkan.
Andrean membuka mata, meletakkan kedua tangan di belakang kepalanya. “Besok, uangnya mau aku kasih ke orang lain,” jawab Andrean.
Istri Andrean kaget. Kini dia duduk dan memandang suaminya dengan penuh pertanyaan.
“Nggak usah kaget gitu. Salah siapa, aku udah tawarin lebih murah. Tapi Pak Lurah malah nolak. Ya udah, aku kasih aja sama John. Dia mau beri aku imbalan yang lebih besar,” Andrean berdalih.
“Tapi mas.., Pak Lurah mau pakai uang itu buat…”
“Buat nambah modal mebel usahanya. Biar pemuda desa yang nganggur itu bisa kerja. Aku dah tau..,” sela Andrean padahal istrinya belum selesai bicara.
Andrean membalikkan badan ke kanan, “Aku minta uang 15 juta itu untuk apa? Ya untuk bayar kontrak rumah ini.”
“Tapi mas..,” istrinya masih mau bicara.
“Yang penting, siapa mau bayar lebih besar, pasti aku bantu. Titik! Udah aku mau tidur,” Andrean menutup kepalanya dengan bantal.

Bagi Andrean, uang 15 juta yang esok paginya akan ia dapat sudah menjadi pendapatan sampingan. Lumayan, kerja di bagian pelemparan kredit membuatnya tidak hanya lebih bebas bernafas, tapi sekaligus bisa menambah penghasilan. Penghasilan yang jauh lebih besar dari gaji bulanannya. Syukur-syukur kalo banyak yang memerlukan pinjaman. Biasanya dia punya harga khusus dari setiap jumlah uang yang akan dipinjamkan. Saat itulah Andrean mulai tawar-tawaran harga dengan beberapa calon peminjam. Siapa yang bersedia memberi imbalan terbesar, dia yang akan membawa pulang uang pinjaman itu.

Tak jauh dari cara Andrean mendapatkan penghasilan tambahan, Wibowo juga melakukannya. Wibowo, menjadi orang penting dikantornya. Beberapa kali telah berhasil memasukkan sarjana-sarjana muda yang resah mencari kerja. Ini pun menjadi sambilannya. Tentu saja, hasilnya lebih besar dari gaji pokoknya. Hanya saja, mungkin nasib baik belum menghampirinya. Kini, Wibowo justru harus memikul beban hutang yang begitu banyak.

Kisahnya, setiap penawaran pensiun dini tiba, perusahaan tempat Wibowo kerja jelas membutuhkan tenaga kerja baru. Disaat itulah Wibowo mulai beraksi. Dia menawarkan janji kerja kepada lima orang. Disepakati pekerjaan itu dapat diperoleh mereka dengan menitipkan uang tali-kasih sebesar harga jabatan yang akan diperolehnya. Macam-macam, ada yang 25 juta hingga 65 juta. Mahal? Tentu tidak jika dibandingkan dengan jabatan struktural yang akan diperoleh orang itu. Pangkat, gaji, tunjangan-tunjangan dan dana pensiun yang besar sudah menjadi angan-angan yang hampir terwujud bagi para pembeli pekerjaan itu. Lagian, mereka hanya membayar setengahnya. Sebagai tanda kesepakatan, sisanya akan diberikan setelah pekerjaan itu didapatkan.

“Alhamdulillah, saya masih dipercaya untuk merekomendasikan orang,” kata Wibowo meyakinkan mereka.
Kelima orang itu pun mulai melengkapi syarat administrasi lamaran kerja. Mereka juga mengikuti ujian tertulis dan wawancara seperti kebanyakan pelamar lainnya. Hanya bedanya, mereka punya Wibowo, orang dalam yang jelas membantu mereka. Hingga saat pengumuman tiba. Nama dan nomor register kelima orang itu tidak tercantum dalam daftar pengumuman. Mereka langsung menghubungi Wibowo, marah-marah. Dan tentu, minta uang mereka kembali.

Wibowo panik, gusar. Ia putuskan menemui petingginya yang menerima uang darinya. Dua pejabat yang ia temui. Keduanya menerima uang dari Wibowo terkait urusan penerimaan kelima orang pencari kerja itu. Dengan wajah penuh heran Wibowo bertanya, “Kenapa orang saya tidak masuk?”
Dengan santai, pejabat itu menjawab, “Belum saatnya mereka mendapatkan pekerjaan itu. Mereka masih terlalu muda.”
“Tapi bapak sudah menerima uang dari saya,” bantah Wibowo.
Lagi-lagi, dengan nada tenang pejabat itu berdalih, “Saya merasa tidak menerima, apalagi meminta. Anda sendiri yang mengirim uang itu ke rekening saya.”

Kiamat, hari itu terasa menjadi hari terakhir bagi Wibowo. Ia tinggalkan ruang pejabat itu dengan sumpah campur caci-maki yang keluar bergantian dari mulutnya. Ia melajutkan lankah kakinya menuju pejabat yang kedua. Jawaban yang kedua ini tidak jauh beda, bahkan lebih meruntuhkan kehidupan Wibowo.
Jauh, jauh lebih santai pejabat kedua ini berkata, “Anda tahu kenapa orang anda tidak terjaring? Karena ada orang lain yang membayar lebih mahal dari harga yang saya tawarkan.”

Daar..! Jawaban itu seperti petir yang menyambar kepala Wibowo. Tubuhnya lemas, ia melangkah pulang. Tidak ada lagi uang yang menghampirinya. Justru surat hutang yang akan menghiasi kuburannya.
“Sial, aku tidak mendapat apa-apa. Sekarang justru aku punya hutang…!” teriak Wibowo dalam hati yang remuk.

Ia sama sekali tidak makan dari uang itu. Semua uang muka yang diberikan kelima pencari kerja itu ia kirimkan ke rekening dua pejabat itu. Rencananya, Wibowo akan mendapat bagian dari uang pelunasan setelah mereka diterima kerja. Tapi, uang muka itu habis dimakan rekening kedua pejabat itu. Dan, kelima pencari kerja it uterus menuntut Wibowo untuk mengembalikannya.

Harta yang ia miliki tidak akan cukup untuk mengembalikan uang itu. Ia putuskan untuk bersembunyi di luar kota. Kini, tidak lagi kelima orang itu yang mencarinya, tapi juga polisi yang mencarinya karena laporan kasus penipuan. Wibowo, tidak hanya gagal mendapatkan uang. Sisa hidupnya habis dengan status buronan dan keterpurukan tanpa keluarga.

Dua kisah tersebut tentu bisa memberikan pelajaran bagi kita. Sadar atau tidak, perilaku ekonomi sehari-hari terasa tidak bisa dilepaskan dari lingkaran suap menyuap. Sebab, kita seringkali kesusahan membedakan antara suap dan hadiah. Dari kisah pertama misalnya, John menawarkan uang 5 juta kepada Andrean sebagai wujud terima kasih. John menganggap bahwa Andrean sangat membantunya untuk mendapatkan penjaman dari bank itu. Selain itu, bagi Andrean sendiri, uang 15 juta yang ia minta memang benar-benar akan digunakan untuk memperlancar proses pencairan pinjaman itu. Uang 15 juta itu akan dibagi-bagi untuk atasannya. Sekilas, tidak ada yang ganjil dalam transaksi ini. John dan Andrean sama untung. Sama-sama mendapat uang.

Sedangkan kasus kedua, Wibowo tidak beruntung seperti Andrean. Dia terikat dengan kelima orang pencari kerja itu, tetapi tidak mendapat jaminan apa-apa dari kedua pejabat itu. Kerugian secara materi juga dialami oleh kelima pencari kerja itu. Sudah tidak dapat kerja, uang hilang lagi. Belum lagi kalau uang yang dibayarkan kepada Wibowo itu juga uang pinjaman. Berarti, sudah tidak dapat kerja, uang hilang, plus hutang bertambah. Seandainya diterima bekerja, kita bisa menebak kemungkinan pertama yang akan mereka lakukan adalah mengupayakan balik-modal. Ya, mengejar balik-modal karena pekerjaan itu mereka beli dengan uang yang tidak sedikit jumlahnya.

Apapun namanya, bisa uang tanda tali-kasih, wujud ucapan terima kasih atau lainnya. Tetap saja disebut sebagai suap. Kata suap ini, yang dalam bahasa Arab disebut rasywah atau rasya, secara bahasa bermakna memasang tali, ngemong atau mengambil hati. Definisi yang sederhana yaitu sesuatu yang diberikan kepada seseorang dengan syarat orang yang diberi tersebut harus dapat menolong orang yang memberi. Maksudnya, sesuatu yang dapat berupa uang ataupun harta benda yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan meraih sesuatu yang diinginkannya.

Jadi, secara sederhana, unsur-unsur perilaku suap ini meliputi pertama adanya penerima suap, yaitu orang yang menerima sesuatu dan orang lain baik berupa harta, uang maupun jasa supaya mereka melaksanakan permintaan si penyuap. Kedua, pemberi suap, yaitu orang yang menyerahkan harta, uang atau jasa untuk mencapai tujuannya. Dan yang ketiga suapan, yaitu harta, uang atau jasa yang diberikan sebagai sarana untuk mendapatkan sesuatu yang diminta.

Sedangkan hadiah pada dasarnya diberikan bukan karena pamrih. Hadiah merupakan sesuatu yang diberikan kepada/oleh seseorang tanpa syarat apapun. Artinya, tidak ada ikatan tertentu untuk mendapatkan/memberi hadiah. Inilah satu kalimat yang menjadi pembeda antara suap dan hadiah, yaitu ikatan karena adanya syarat.

Tipisnya dinding pemisah antara suap dan hadiah akan membuat kita lebih berhati-hati. Karena Rasulullah Saw. bersabda, “La’anallahu rasyî walmurtasyî fîl hukmi.” Yang artinya, “Allah melaknati penyuap dan penerima suap dalam proses hukum.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Hiban). Semoga kita tidak terjebak dalam praktik risywah ini, amien..
***
[dwi.s]