Sabtu, 12 April 2008

Alhamdulillah...

Pada mulanya, negeri Saba’ merupakan negeri yang makmur penuh rezeki, gemah ripah loh jinawi. Informasi ini disampaikan oleh Allah SWT dalam Qur’an ayat Saba’ (34) ayat 15, yaitu “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri (Kepada mereka Kami katakan), ‘Makanlah olehmu dari rezki yang Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun’.”

Demikianlah Allah SWT menjelaskan tentang keberuntungan penduduk Saba’. Kekayaan alam yang ada disekeliling mereka merupakan fasilitas hidup yang Allah SWT karuniakan kepada mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. Semuanya itu diberikan untuk penghidupan mereka, terutama makanan karena menjadi kebutuhan pokok (based need). Atas karunia rezki itu, Allah SWT berpesan supaya mereka bersyukur, dengan berfirman bersyukurlah kamu kepada-Nya.

Namun sayang, penduduk Saba’ mengingkari kenikmatan yang mereka dapatkan. Mereka lengah, lalai, dan terlena sehingga lupa untuk mensyukuri semua anugerah yang telah mereka terima. Bahkan mereka mengingkarinya (kufur). Maka berlakulah hukum Allah SWT kepada mereka, dan Allah SWT berfirman:

“Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab, melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (QS. Saba’ (34): 16-17).

Berlakulah hukum sebab-akibat (kausal). Karena kufur, penduduk Saba’ tidak lagi bisa menikmati rindangnya pohon dan kelezatan buahnya. Semuanya telah diganti dengan pohon atsl yaitu pohon kayu yang tidak berbuah. Hilanglah rasa nikmat memakan buah karena semua buah menjadi pahit rasanya. Semua ini terjadi karena penduduk Saba’ telah berpaling dari rasa syukur.

Kisah tentang penduduk Saba’ tersebut bisa menjadi cermin bagi kita. Yakinlah, bahwa hakikat kebahagiaan hidup tidaklah terletak pada jumlah harta kekayaan, namun lebih pada sikap terhadap harta kekayaan itu sendiri. Dua sifat manusia yang sering muncul ketika memperlakukan harta kekayaan yaitu tamak dan lalai. Dua sifat ini penting untuk kita ketahui karena dari sifat inilah akan lahir sikap-sikap yang justru akan merugikan kehidupan kita.

Pertama adalah tamak. Sifat ini akan muncul ketika kita tidak puas dengan kekayaan yang telah didapat. Padahal, kebahagiaan materi tidak selamanya menjanjikan kepuasan jiwa. Jika kita mau jujur, pernahkah kita merasakan puas terhadap kekayaan? Misalnya dulu sebelum kita memiliki rumah mungkin mengatakan, “Saya akan puas kalo sudah punya rumah sendiri.” Namun begitu mendapatkan rumah baru, dalam hati kita berkata, “Rumahnya ini terlalu sempit, coba kalo bisa tingkat, dua lantai.” Nanti kalau sudah memiliki rumah yang dibuat bertingkat dapat dipastikan menghendaki rumah yang lebih.. lebih.. dan lebih.. terus dan terus, seperti itu.

Hati-hati dengan sifat tamak ini karena bisa menghilangkan rasa nikmat atas apa yang telah diraih. Kenapa kita tidak bisa menikmati limpahan rezki yang telah ada? Kenapa justru kita menyesali kondisi yang ada? Inilah yang justru menjauhkan kita dari kebahagian meskipun harta telah ada dalam genggaman tangan. Contoh ini baru masalah rumah, belum lagi pekerjaan, kendaraan, mobil, computer, alat masak, hingga mungkin gaya dan warna rambut. Pernahkah kita puas? Sifat tamak tidak akan pernah melahirkan kebahagiaan karena tamak hanya memikirkan apa yang belum didapat ketimbang memikirkan bagaimana memanfaatkan apa yang telah didapat. Yakinlah, kepentingan kita atas harta kekayaan hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempermudah hidup. Jadi perlu koreksi diri ketika kita masih merasa gundah padahal kita telah memiliki harta. Sekarang, masihkan kita merasa gundah ketika memiliki harta?

Tamak bisa dihilangkan dengan menghadirkan rasa menerima (nerimo), sekaligus sebagai wujud syukur. Rasa menerima dalam arti mampu menikmati dan menyadari akan potensi diri. Mungkin Allah SWT belum memberikan mobil karena kita memang belum siap menerimanya? Allah SWT lebih tahu porsi yang kita butuhkan, lebih dari yang kita tahu. Selain itu, tamak juga dapat dihilangkan dengan cara tidak terlalu sering ‘‘memandang ke atas’’ soal harta. Pas tetangga beli TV baru, kenapa kita yang rame? Tetangga beli motor baru, kenapa kita mesti iri? Saudara bisa beli mobil, kenapa kita menjadi sedih? Bisa jadi, saat tetangga beli rumah lagi, justru kita masuk rumah sakit karena terlalu memikirkan kapan kita punya rumah baru.

Sekarang, sudah semestinya yang punya mobil bersyukur karena tetangga hanya punya motor. Yang punya motor juga mesti bersyukur karena tetangga hanya punya sepeda. Yang punya sepeda juga tetap bersyukur karena ada tetangga yang pergi kemana-mana jalan kaki. Yang jalan kaki juga lebih bersyukur karena ada tetangga yang tidak bisa jalan lantaran kecelakaan. Yang tidak bisa berjalan juga masih bisa bersyukur masih diberi umur panjang karena kemarin tetangga ada yang meninggal. Keluarga yang meninggal pun masih bisa bersyukur karena meninggal sebagai seorang muslim. Dalam kondisi seperti apa pun kita masih tetap bisa bersyukur, “Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahmân (55): 13).

Percayalah, ketenangan jiwa dalam menghadapi dan menyikapi rezki hanya akan hadir ketika kita yakin bahwa Allah SWT telah membuat skenario yang indah buat kita. Dan renungkanlah ketika Allah SWT berfirman, “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman.” (Ar-Ruum (30): 37).

Kedua adalah lalai. Seringkali baru menyadarinya tatkala apa yang kita miliki telah hilang, inilah lalai. Kita baru menyadari betapa sunyinya ketika televisi, radio, tape, MP3, atau MP4 kita rusak. Betapa repotnya ketika motor atau mobil kita rusak. Terlebih nikmat kesehatan, baru akan terasa ketika kita terbaring karena sakit. Disini, lalai berarti ketidakpedulian kita ketika masih memiliki nikmat tersebut.

Sebagai contoh, Dhani memiliki motor. Seharian penuh Dhani menggunakannya. Karena alasan sibuk kerja sehingga Dhani kurang memperhatikannya. Sekali-kali Dhani hanya bisa membersihkannya. Hingga hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan, knalpot motor Dhani berlubang. Mungkin Dhani masih acuh tak acuh karena lubangnya masih terlalu kecil. Hingga akhirnya Dhani mendengar suara-asing yang keluar dari knalpot itu. Ya, saat itulah baru Dhani menyadari kalau knalpot motornya telah rusak. Penyaringnya telah lepas karena kropos. Tentu, Dhani langsung menggantinya dengan knalpot yang baru. Toh, harganya tidak lebih dari 500 ribu. Namun, betapa terkejutnya Dhani ketika melihat motor Andra (teman sekantor) yang memiliki knalpot yang masih bagus, tidak rusak, tidak perlu diganti! Padahal Dhani membeli motor bersamaan dengan Andra. Jenis dan merk sama, pada bulan dan tahun yang sama, cara mengendarainya tidak jauh beda. Pada saat itu, Dhani telah kehilangan knalpot lamanya sekaligus mengeluarkan uang, sedangkan Andra tidak. Kenapa? Jawab Andra sederhana, “Karena aku merawat knalpot motorku. Lima hari sekali aku rutin meneteskan oli bekas ke dalam knalpot motorku. Itu aja.”

Dari contoh itu, kita bisa melihat bahwa sifat lalai justru akan merugikan diri sendiri. Lalai terbukti menjadi lawan dari rasa syukur karena sifat ini cenderung mengabaikan (cuek) atas nikmat yang telah diberikan. Bisa dilihat kerugian Dhani akibat tidak pandai mensyukuri knalpot-motornya. Dhani harus mengeluarkan uang untuk menggantinya. Padahal, dia bisa berusaha menunda kerusakan itu jika mau merawatnya.

Di sisi lain, kita tentu bisa belajar dari Andra yang mengatakan karena aku merawat knalpot motorku. Knalpot-motor adalah bagian dari rezki, maka perlu disyukuri. Cara bersyukur terhadap harta yang dimiliki bisa dengan merawatnya dan memaksimalkan fungsinya. Jelas merawat harta yang dimiliki akan memperpanjang umur ekonomisnya. Lebih tahan lama, lebih awet dan lebih terjaga nikmatnya. Terlihat bahwa rasa syukur dapat mendatangkan keuntungan bagi kita, dalam bentuk materi terlebih nilai tambah psikis. Maka benarlah apa yang telah dikatakan Luqman kepada anaknya yang terekam dalam Qur’an surat Luqman (31): 12, “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Wujudkanlah rasa syukur dalam bentuk sikap yang positif. Dari sikap-positif inilah yang akan memancarkan energi-positif bagi diri kita. Dan energi positif inilah yang akan menghadirkan kebahagiaan, tidak hanya bagi kita tetapi juga buat orang lain. Kemudian syukur akan membuka pintu-pintu nikmat yang lainnya, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim (14): 7).

Dijelaskan oleh M. Quraish Shihab bahwa pakar bahasa ar-Raghib ash-Ashfahani mengatakan dalam Mufradatnya, kata syukur mengandung arti “gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.” Kata syukur berasal dari kata syakara (شكر) yang berarti membuka. Kata syakara menjadi lawan dari kata kafara (كفر) yang berarti menutup. Jadi, ahli syukur atas rezki yang dikaruniakan kepadanya berarti semakin membuka pintu rezki yang lain. Sebaliknya, ahli kufur nikmat berarti telah menutup pintu rezki yang lain.

Ahli syukur akan mampu menampakkan nikmat yang ia peroleh dengan menggunakannya pada tempatnya, serta sesuai dengan yang dikehendaki pemberinya. Syukur dapat dilakukan dengan pengakuan hati, pengucapan lidah dan diwujudkan dengan tindakan. Syukur yang diwujudkan dalam tindakan dinamakan yasykur (يشكر). Jika sering dilakukan oleh seseorang, maka disebut syakir (شاكر). Dan jika telah membudaya dan mendarah daging dalam kepribadian seseorang disebut syakur (شكور).

Budaya syukur rezki mesti dibangun untuk melahirkan kebahagian-kebahagian (spiritual happiness) yang terwujud tidak hanya dalam bentuk materi tetapi juga psikis, dan jiwa (nafs). Sekarang kita bisa memahami bahwa kebahagian bukan hadir semata-mata karena adanya harta kekayaan. Tetapi, kebahagian akan hadir ketika kita pandai mensyukuri nikmat-rezki yang telah dikaruniakan kepada kita. Maka rasakanlah kebahagiaan itu ketika kita mengucapkan, “Alhamdulillah...”

***
[dwi.s]

Tidak ada komentar: