Sabtu, 12 April 2008

Hutang Produktif

Kita telah melihat begitu banyak fakta. Saudara, teman, tetangga atau orang lain terjebak pada pola perilaku hutang konsumtif. Yang pada akhirnya justru semakin mempersulit kondisi keuangan. Terutama dari contoh kisah nyata pada pembahasan tentang hutang = beban. Pertanyaannya, bagaimana penjelasan lebih lanjut tentang cara menjadikan hutang tidak lagi menjadi beban? Bagaimana supaya hutang justru akan menambah penghasilan kita? Jawabnya ada di kisah nyata yang dialami oleh Bu Harti (33).

Malam itu, aku melihat Pak Fayis (37, suami bu Harti) sedang menyiapkan kompor gas barunya. Memasang perlengkapan kompor itu supaya siap pakai.
Karena penasaran, aku pun bertanya, “Wah, kompor baru nich?”
“Ya mas, buat ibunya anak-anak ini goreng gorengan,” jawab Pak Fayis sembari mengencangkan baut-baut itu.
“Tapi belum bisa dipakai. Belum ada tabungnya,” sambungnya.
“Lho kok nggak sekalian beli tabungnya?” tanyaku
“He..belum ada uang mas. Biar kita nunggu saja, kumpulin duit dulu,” jawabnya
“Emang berapa harga tabungnya?” tanyaku penasaran
“Yang baru 60 ribu. Kalo tambah gasnya ya jadi 130 ribu,” jawabnya
“Oo..,” kataku sembari melihat Bu Harti dan anaknya yang duduk di samping Pak Fayis.

Sekali lagi aku melihat Bu Harti. Keceriaan tampak diwajahnya. Aku yakin, ada rasa senang di hatinya. Hanya saja, rasa senang itu harus ditunda untuk beberapa minggu lantaran kompor gas itu belum bisa difungsikan sebagaimana mestinya. Aku pun berbalik. Aku kembali ke kamar. Melihat sisa uang yang ada di amplop, ada 210 ribu. Aku ambil 130 ribu, kemudian kembali lagi untuk menemui Pak Fayis.

Aku pastikan sekali lagi, “Benar pak, dengan 130 ribu bisa beli tabung gas plus isinya.”
“Ya mas,” jawabnya
“Kalo begitu pakai saja uang ini dulu. Beli tabung biar kompornya bisa cepet dipakai,” pintaku sambil menyodorkan uang 130 ribu itu.
Dia menolak. Terlihat sungkan, “Wah, nggak mas. Saya nggak mau ngrepotin.”
“Insya Allah nggak ngrepotin pak. Ini kemaren saya dapat pembayaran termin dari proyek. Lagian dua hari lagi saya gajian. Terimalah pak, biar saya juga dapat pahala, he..” bujukku
Dia menatapku seraya berkata, “Tapi uang ini saya anggap pinjem ya mas. Ntar kalo pas ada untung saya kembalikan.”
“Ya, saya ikut saja. Yang penting sekarang beli tabung biar ibu bisa cepet goreng,” kataku dengan hati lega.

Esok harinya. Sepulang kerja aku disambut Bu Harti dengan rasa senang yang tampak dari wajahnya, “Alhamdulillah mas, tadi siang ada dua ibu-ibu yang ambil gorengan lagi.”
“Wah, alhamdulillah bu. Jadi tambah banyak yang bantu jualin,” jawabku
Sambil menyapu lantai Bu Harti bercerita, “Ya sebenarnya sudah dari dulu mas, banyak ibu-ibu yang mau ikut jualin. Tapi saya belum bisa nyanggupin.”
“Lho kenapa bu?” tanyaku
“Kemaren kan kompornya masih pakai sumbu, panasnya lama. Jadi gorengnya juga ikut lama,” jelasnya
“Kalo kemaren cuma bisa goreng 120 gorengan. Campur, pisang, bakwan, tempe sama tahu. Tadi pagi bisa nambah jadi 250-an gorengan. Pakai kompor gas itu gorengnya bisa lebih banyak, jauh lebih untung.” Tambahnya
Aku pun tersenyum.

Kisah nyata ini tentu dapat menjadi inspirasi buat kita. Hutang menjadi alat pendongkrak penghasilan. Syaratnya, hutang itu dialokasikan untuk keperluan modal usaha. Uang hasil pinjaman itu dapat digunakan untuk operasi usaha. Pada akhirnya dapat menghasilkan keuntungan untuk melunasi hutang tersebut. Strategis sekali ketika uang pinjaman itu diwujudkan dalam bentuk asset produktif, seperti tabung gas untuk usaha makanan. Pada kasus ini, efeknya jelas terlihat pada penambahan kapasitas produksi.

Di lain waktu, Bu Harti juga pernah bercerita kalau dia menjual seharga Rp 350/gorengan. Jika dia berhasil menjual 120 gorengan berarti pendapatannya sebesar Rp 42.000/hari. Dalam sebulan pendapatannya mencapai Rp 1.260.000. Sedangkan biaya operasionalnya tidak lebih dari Rp 500.000/bulan. Jadi, keuntungannya mencapai Rp 760.000/bulan.

Setelah mendapatkan pinjaman modal Rp 130.000 untuk beli tabung gas sehingga produksinya naik menjadi 250 gorengan/hari. Kenaikan produksi ini jelas berpotensi untuk menaikkan pendapatannya, Rp 350 x 250 = Rp 87.500/hari. Selama sebulan maksimal mendapat Rp 2.625.000/bulan (Rp 87.500 x 30 hari, hari minggu dan hari libur tetap jualan). Kemudian dikurangi biaya operasional menjadi Rp 2.125.000/bulan (dari Rp 2.625.000 - Rp 500.000. Fantastik, hanya dengan pinjaman Rp 130.000 bisa menambah penghasilan Rp 1.365.000/bulan, yaitu dari Rp 2.125.000 - Rp 760.000. Bisa ditebak apa yang terjadi jika Pak Fayis/bu Harti menolak pinjaman itu. Mereka akan kehilangan peluang untuk mendapatkan keuntungan Rp Rp 1.365.000/bulan!

***
[dwi.s]

Tidak ada komentar: