Sabtu, 12 April 2008

Hutang Konsumtif

Demo masak di rumah Bu Tuti membuat Bu Endang nggak bisa tidur. Pasalnya, alat masak serba-guna itu udah berhasil memikat hatinya. ”Bisa dikredit kok Pak...,” rayu Bu Endang pada suaminya. Kalo pas masak, Bu Endang terlihat cemberut sembari berkata, ”Coba kalo punya alat itu, pasti nggak-bakal repot begini.”

Sama persis dengan Ibunya, Edo terbayang-bayang motor gede yang selalu dibawa temennya ke kampus. Kalo pas lagi ngelap motor bebek itu pasti ngomong, ”Pak, kapan motor Edo diganti? Modelnya dah kuno nih!”

Lebih rame lagi Lita, adik Edo satu-satunya, udah lama banget pingin Hp 3G. Apalagi kalo pas ngrumpi bareng temen gaulnya, pasti yang dibahas Hp 3G. Katanya, ”Mau 3G...mau 3G...mau ganti Hp 3G...”

Kalo udah begini, raut muka Pak Dodo (suami Bu Endang, bapaknya Edo dan Lita) jadi kayak benang kusut. Padahal, belum juga selesai cicilan mesin cuci, udah minta alat masak baru. Hutang motor bebek juga belum genap dilunasi, udah mau motor yang baru lagi. Lita lagi, baru kemaren ganti Hp yang ada kameranya, sekarang minta yang 3G. Uang lagi, hutang lagi.

Mau dibilang repot, tapi katanya itu tuntutan keluarga. Gaji pokok udah dipotong buat hutang yang dulu. Kini, mau nggak mau harus gali lobang tutup lobang. Alasannya sederhana, biar bisa jadi suami dan ayah yang membahagiakan istri dan anak.

Beda dengan keluarga Pak Dodo, keluarga Pak Sugeng lebih suka beli barang secara tunai. Istrinya lebih suka ikut arisan daripada beli kredit. Begitu juga anak-anaknya lebih suka nabung kalo mau beli apa aja. Terkadang, kalo terdesak, misal pas anaknya sakit dan harus nginap di rumah sakit, baru Pak Sugeng ambil hutang di BMT. Selain itu, Pak Sugeng berani ambil hutang kalo cuma buat modal. Misalnya, dulu istrinya dapet pesanan catering, Pak Sugeng baru mau ambil hutang buat modal catering itu.

Soal hutang. Mungkin, sebagian kita ada yang mirip dengan model keluarga Pak Dodo. Atau, mirip keluarga Pak Sugeng. Atau mungkin campuran antara keduanya? Apapun model kebijakan keluarga soal hutang tetap ada kekurangan dan kelebihan.

Awal dari munculnya hutang terletak pada kebutuhan (need) atau bahkan hanya keinginan (want). Dalam prakteknya, seringkali dua kata ini menjadi sangat membingungkan. Mana sebenarnya yang dimaksud dengan ”kebutuhan” dan mana yang disebut sebagai ”keinginan”? Apapun jawabannya, keduanya sama-sama membutuhkan uang untuk memenuhinya.
Jika ada uang, langsung dibayar tunai. Jika tidak ada uang, berarti hutang dulu. Karena itu, ilmu akuntansi menyebut hutang sebagai dampak dari transaksi yang dilakukan secara tidak tunai.

Dengan hutang orang bisa memiliki barang atau menikmati jasa dalam waktu yang cepat. Hanya saja, yang seringkali menjadi perbedaan mendasar antar keluarga yaitu ”transaksi apa” yang harus dibayar dengan cara berhutang? Atau, hutang itu digunakan untuk apa?

Contoh kasus di atas, keluarga Pak Dodo lebih suka mengambil hutang untuk keperluan hidup yang lebih bersifat konsumtif. Seperti untuk beli peralatan masak, motor, atau beli Hp. Konsumtif berarti penggunaan barang tidak dapat menghasilkan uang. Kecuali, barang itu memberikan kontribusi dalam menambah pendapatan (uang) keluarga. Dampaknya, hutang konsumtif justru akan menjadi beban-tetap (fixed cost) bagi keluarga. Jadi, nilai ekonomi dari hutang itu tidak akan pernah muncul. Dan bahkan menjadi beban diluar kesanggupan keluarga. Oleh karena itu, dalam posisi ini, hutang sama dengan beban.

Pertanyaannya, bagaimana supaya hutang mempunyai nilai ekonomi?

Jawabnya seperti yang dilakukan Pak Sugeng, yaitu menjadikan hutang sebagai modal bisnis. Jika hutang dijadikan modal akan memungkinkan menjadi produktif. Hutang dapat bernilai ekonomi, tidak hanya untuk keluarga tetapi juga untuk orang lain. Ketika hutang produktif, maka pembayaran hutang akan lebih ringan karena hutang itu dapat menjadi capital-work. Dari sinilah hutang memberikan pemasukan tambahan buat keluarga. Oleh karena itu, pada posisi ini, hutang sama dengan modal.

Terlihat jelas, kalo hutang untuk tujuan konsumtif hanya akan menambah beban keluarga. Namun sebaliknya, hutang yang digunakan untuk tujuan produktif mampu menghasilkan uang tambahan. Disinilah letak tips awal dalam manajemen hutang yaitu jadikan hutang sebagai modal.

Kini giliran anda yang menentukan: apakah hutang akan digunakan untuk tujuan konsumtif atau produktif?

Dan apapun jawaban anda, ingatlah pada sebuah atsar, ” الدين هم بالليل ومذ لة بالنهار (Hutang adalah kecemasan di malam hari dan kehinaan pada siangnya.)”

***
[dwi.s]

Tidak ada komentar: