Sabtu, 12 April 2008

Nggak Asal Kaya!

Hubb asy-syahawat, inilah dua kata dalam al-Qur’an surat Ali Imran (3) ayat 3 yang sering digunakan untuk membenarkan bahwa manusia memiliki bahan bakar sebagai dorongan untuk melakukan aktivitas. Menurut M. Quraish Shihab, kata asy-syahawat mengandung pengertian bahwa aktivitas manusia memerlukan daya. Melangkahkan kaki atau mengangkat jari pun memerlukan daya (energi). Dan mengeluarkan energi jelas membuat keletihan, kelelahan, dan puncaknya pada kejenuhan.

Dari situ, manusia mulai berpikir, “Saya mengeluarkan energi untuk bekerja. Berarti, minimal, hasil kerja saja bisa untuk menutupi energi yang saya keluarkan.” Mudahnya, ketika kita keletihan dalam bekerja maka perlu energi baru. Inilah yang menjadi alasan kenapa kita memerlukan imbalan sebagai hasil kerja. Jawabnya sederhana, ”Untuk membeli energi baru.” Ya kan?

Setelah tau kalo kerja banyak menghabiskan energi dan hasil yang didapat pun habis untuk membeli energi baru, maka peluang yang mungkin dilakukan yaitu bekerja lebih keras lagi. Hanya saja, bekerja lebih keras pun akan memerlukan energi yang jauh lebih besar dari biasanya. Dari sini, manusia mulai berpikir lagi, ”Bagaimana caranya mengeluarkan energi yang paling minimum untuk mendapatkan hasil yang maksimum?”

Pendek kata, sama artinya dengan bagaimana menjadi kaya tanpa banyak usaha. Mulailah Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java (hasil penelitian di Mojokuto tahun 1952) mengungkap secara tertulis bahwa ada manusia yang berbisnis dengan tuyul. Inilah kali pertama tuyul menjadi idol karena produktif bagi manusia. Dengan tuyul, manusia tidak banyak mengeluarkan energi dan menhasilkan begitu banyak uang.

Geertz menjabarkan secara rinci bagaimana kegiatan tuyul, orang yang memilikinya, dan bagaimana cara mendapatkannya. Pada skala terkecil, cara mudah untuk mendeteksi seseorang itu memelihara tuyul atau tidak hanya dengan dua kata, ”kaya mendadak”. Karena, bagi orang tahun 1930-an sangat mengagetkan bila tetangganya bisa kaya mendadak ditengah kehidupan ekonomi yang serba pas-pasan.
Tidak hanya di Indonesia, di Belanda juga dikenal makhluk halus yang produktif bagi manusia dengan sebutan goblin atau kabouter, yaitu kurcaca (jantan) dan kurcaci (betina). Mitosnya, goblin memakai topi putih dan jika seseorang dapat memegangnya maka orang itu akan beruntung karena si goblin akan memberikan apa saja yang dimintanya. Semua ini diungkap oleh Van Hien dalam karyanya De Javaansche Geestenwereld pada tahun 1921.

Demi kekayaan harta, orang juga mau memuja roh binatang yang berwujud kera (ngethek), anjing, atau babi (nyegik atau babi ngepet). Orang kaya yang menggunakan mistik sebagai alat untuk memdapatkan kekayaan tampak berpenampilan kotor, tidak merawat diri, rumah tidak terawat, dan tingkah laku yang tidak sewajarnya. Bahkan, Moestapa dalam karyanya Over de Gewoonten (1910) menceritakan kalo orang yang kawin dengan perempuan kotor dan bau (atau roh yang menjelma sebagai seorang wanita) merupakan cara lain untuk menjadi kaya.

Faktanya, bisnis dengan makhluk halus sangat merugikan orang lain karena modus operandinya dengan cara mencuri. Namun, hukum negara susah menjangkau pelakunya. Disisi lain, bisnis model begini besar risikonya. Untuk melancarkan bisnisnya, pelaku serta keluarga terdekat dapat menjadi tumbal yang berujung pada kematian. Selain itu, norma masyarakat menyekat-ketat hingga pelaku tidak diberi sedikit ruang untuk bernafas. Karenanya, lambat-laun bisnis model kuno ini mulai pudar terutama bagi penduduk urban.
Beda generasi, beda ruang dan waktu tidak melunturkan niat menjadi kaya tanpa banyak usaha. Berbeda dengan bisnis tuyul yang berbau mistis, sekarang teknologi menjadi trend nomor wahid. Kasus cyber crime misalnya. Pelaku dapat dengan leluasa menghasilkan uang tanpa mengeluarkan keringat. Modus operandi yang digunakan diantaranya (1) unauthorize acces to computer system and servise, yaitu memasuki atau menyusup jaringan computer secara tidak sah dan tanpa izin. Tindakan ini dimaksud untuk sabotase atau mencuri informasi (hacker). (2) Illegal contents, yaitu tindakan memasukan informasi ke internet tentang sesuatu yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. (3) Data forgery, yaitu memasukkan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai sciptless document melalui internet. Seperti memasukkan data pribadi atau nomor kartu kredit yang disalahgunakan dalam perdagangan bisnis di internet (e-commerce). (4) Cyber espionage berupa pemanfaatan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap orang lain. (5) Cyber sabotage and extortion, yaitu pelaku menggangu, merusak, atau menghancurkan data, program komputer, atau sistem jaringannya yang terhubung dengan internet. Seperti menyusupkan suatu logic bomb, virus, atau program tertentu sehingga data atau program tidak dapat digunakan. (6) Offense against intellectual property berupa pemanfaatan hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki orang lain di jaringan internet tanpa ijin. Dan (7) Infringements of privacy, yaitu memanfaatkan keterangan pribadi seseorang yang tersimpan dalam formulir yang terhubung dengan jaringan komputer yang apabila diketahui orang lain dapat merugikan korban baik materiil maupun immateril. Seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, kondisi cacat atau penyakit yang sengaja disembunyikan dari publik.

Salah satu kisah yang menarik tentang seorang hacker dapat dilihat di film Cabin Pressure. Film yang dibintangi oleh Craig Sheffer dan Rachel Hayward ini menceritakan tentang seorang hacker computer bernama Wingfield yang mengambil alih control pesawat dan menteror penumpang dan mengunci pesawat sehingga pesawat terus berputar di atas Seattle.

Jika dibandingkan dengan bisnis tuyul, maka cyber crime sebenarnya tidak jauh beda, karena modus operandinya hampir sama, yaitu menyusup dan mencuri. Keduanya sama-sama merugikan orang lain dan menggangu ketertiban umum. Bedanya, cuma ada diperangkat yang digunakan dan pelaku cyber crime dapat dibawa ke meja hijau karena masuk dalam tindak kriminal.

Model lain, praktek bisnis yang mengorbankan orang lain demi kepentingan pribadi atau kelompok adalah terbongkarnya oknum LSM yang menjual proposal palsu. Ceritanya, ada oknum LSM menarik dana dari luar negeri dengan tameng konservasi. Mereka mengeksploitasi suku kubu atau suku anak dalam (SAD) yang juga dikenal sebagai orang Rimba, terutama yang masih hidup mengembara di dalam hutan Provinsi Jambi.

Kasus lain yang paling sulit dihadapi ketika bekerja pada kondisi yang ’meragukan’. Misalnya, gara-gara banyak korban meninggal atas dampak smack Down, maka menteri negara pemuda dan olah raga Adhyaksa Dault melarang dan polisi sudah merazia barang-barang berbau smack Down. Tapi, barang dan atribut (CD, playstation, poster, dan topeng) masih beredar. Harga CD permainan dipatok dari Rp 8.000 hingga Rp 10.000 tetap laris. Rental playstation tetap menyediakan permainan smack Down pain, smack Down 2006, dan smack Down 2007 karena permainan itu memberi pemasukan yang besar bagi rentalnya. Disatu sisi, pemilik rental dihadapkan pada keuntungan bisnis yang besar. Disisi lain, CD dan playstation smack Down telah membawa korban. Pertanyaannya, apa yang akan anda lakukan, seandainya anda adalah penjual CD dan pemilik rental playstation itu?

Dan begitu banyak model bisnis yang keluar dari jalurnya. Seperti kereta api yang keluar dari rel dan menabrak bangunan di sekitarnya. Kemungkinan besar, hal ini terjadi karena orientasi hanya pada hasil. Soal proses nomor sekian. Proses tak pernah dipikirkan, yang penting hasil. Inilah yang berkembang dan banyak dipraktekkan. Repotnya, semua ini akan menjadi kebiasaan karena dilakukan tanpa hambatan (penalty atau punishment). Maka, patutlah dipertimbangkan atas apa yang dikatakan Samuel Johnson (1709-1784), ”The chains of habit are generally too small to be felt until they are too strong to be broken, artinya rantai kebiasaan pada umumnya terlalu kecil untuk dirasakan, sampai suatu saat rantai itu menjadi sangat kuat dan sangat sulit untuk diputuskan.”
Dari kasus tuyul, cyber crime, dan banyak bisnis lainnya, kita mulai mengerti setiap proses-bisnis apa pun akan berakibat luas pada lingkungan disekitar kita. Jelas sudah bahwa rizki tidak sekedar urusan kuantitas-hasilnya, tetapi juga kualitas-prosesnya. Kebiasaan yang hanya perduli pada hasil dan cuek atas prosesnya akan menjadi bumerang bagi pelakunya. Pertanyaannya, apa yang seharusnya dihindari dalam proses-bisnis?

Atas kasus ini, al-Qur’an telah memberikan banyak solusi, diantaranya al-Qur’an surat asy-Syura (42) ayat 42, ”Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” Lihat juga QS. 2:279, 14:34, 17:33, 4:160-161, 4:77, dan QS. 4:40.

Ayat-ayat tersebut memberikan kata kunci yaitu sabîlu dan yazhlimûna annâsa. Jadi, ada hubungan antara kezhaliman terhadap sesama manusia dengan dosa. Tentu saja hubungannya kausalitas, yaitu semakin tinggi tingkat zhalim yang dilakukan, maka semakin menumpuk dosa yang ditanggungnya.

Kamus al-Munawwir menerangkan bahwa azh-zhulm terambil dari kata zh-l-m yang berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, ketidakadilan, penganiayaan, penindasan, tindakan sewenang-wenang, atau pun kegelapan.

Maka Allah memberikan solusi di surat an-Nisaa’ (4) ayat 85, ”Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barang siapa memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segalasesuatu.” Syafa’at yang baik ialah setiap sya’faat yang ditujukan untuk melindungi hak seseorang atau menghindarkannya dari sesuatu kemudharatan.

Jelas sudah solusi bisnis yang diberikan oleh al-Qur’an, yaitu menghindari unsur zhalim dan tetap melindungi hak orang lain. Hal ini diakui oleh Robert T. Kiyosaki dan Sharon L. Lechter dalam karyanya Rich Dad’s Guide to Investing bahwa kaya saja tidaklah cukup, tetapi sangat dibutuhkan kepandaian (educationi) yang berujung pada perilaku yang baik (good behavioral) hingga membentuk kebiasaan yang baik (good habit), dan puncaknya menjadi pengalaman yang baik (good experience).

Teringat kisah seorang wanita tua, bertubuh gemuk, dengan senyum jenaka di sela-sela pipinya yang bulat. Duduk menggelar nasi bungkus dagangannya. Segera saja beberapa pekerja bangunan dan kuli angkut yang sudah menunggu sejak tadi mengerubungi dan membuatnya sibuk meladeni. Bagi mereka, menu dan rasa bukan soal, yang terpenting adalah harganya yang luar biasa murah.

Hampir-hampir mustahil ada orang yang bisa berdagang dengan harga sedemikian murahnya, ”Lalu apa untungnya?” Wanita itu terkekeh menjawab, ”Bisa numpang makan dan sedikit membeli sabun.” Tapi, ”Bukankah ibu bisa menaikkan harga sedikit?” Sekali lagi ia terkekeh, ”Lalu bagaimana kuli-kuli itu bisa beli? Siapa yang mau menyediakan sarapan buat mereka?” katanya sambil menunjukkan para lelaki yang mulai berlompatan ke atas truk-pengantar mereka ke tempat kerja.

Indahnya, jika bisa kaya dengan tetap melindungi hak-hak orang lain dan tetap menjaga harga diri sendiri. Inilah yang bisa menahan langit supaya tidak runtuh. Membuat jalan hidup yang terjal-berbatu menjadi halus. Mengobati luka. Menghidupkan yang hidup. Menghadirkan kesejahteraan bagi semua. Kaya saja tidaklah cukup dan nggak asal kaya.
***
[dwi.s]

Tidak ada komentar: