Sabtu, 12 April 2008

Konsumen Sejati

Ada orang membeli produk (barang dan jasa) lantaran gengsi. Bukan karena butuh, bukan karena perlu. Untuk sebuah gengsi, orang mau membeli decorative lightings (lampu hias) dengan harga Rp 3 juta hingga 39 juta per set. “Demi prestise keluarga,” katanya. Mulai jenis pendant (gantung), ceiling (menempel di plafon), down light (masuk ke dalam plafon), wall (menempel di dinding), dan table (di atas meja) pun ada di rumahnya. Mulai dari bahan kristas, kaca, dan PVC semuanya komplit. Nggak nanggung-nanggung, semuanya itu diburu hingga ke Cina, Amerika Serikat, dan Eropa. Jika ditanya, ”Kenapa anda membeli semua itu? Jawabnya, ”Biar tamu bisa melihat dan merasakan focal point ruangan ini.” Semua itu dibeli untuk sebuah gengsi, prestise.

Dikalangan muda-mudi yang ngakunya gaul, mereka siap mengeluarkan uang demi menutup muka di depan teman-temannya. Bila memang lagi nge-trend pasti dibeli. Demi penampilan yang dianggap nyentrik mereka berani ngutang sana-sini. Misalnya saja, untuk sebuah belt away (ikat pinggang) dengan merk Converse mereka harus mengeluarkan Rp 79.000. Merk Puma dengan harga Rp 159.000 – Rp 299.000. Merk Rockets dari mulai Rp 99.000 - Rp 299.000. Dan merk Oakley dipatok dari harga Rp 674.00 s.d. Rp 749.000. Sekedar mengingatkan, harga yang disebutkan terakhir ini melebihi biaya SPP SD-IT dan hampir setara dengan uang SPP di Perguruan Tinggi. Semua itu dibeli untuk sebuah gengsi, trend, dan mode.

Sebagai orang tua, mereka tetap akan membelikan apa yang diminta anaknya. Video game misalnya, mulai dari game Freestyle Basketball, Dirt: Colin MCRAE Off-Road, Surf’s Up, dan NCAA March Madness 07 lengkap di rumah. Bahkan, perlengkapan game itu ditata dan disimpan di lemari khusus. Tak ketinggalan, game-nya harus up-to-date. Dilengkapi dengan majalah game pendukung, biar tau cara menangkan gamenya (jadi winer) dan tau jenis game terbaru. Jika ditanya, ”Kenapa anda membelikan semua game itu?” ”Habis, anak saya seneng sich!” jawabnya. Semua itu dibeli untuk sebuah kesenangan. Ya, sebuah kesenangan.
Hal yang paling mengherankan, banyak rumah di Indonesia yang didalamnya terdapat lemari kaca yang dihiasi oleh benda-benda yang nggak terlalu diperlukan. Kalo ditanya, ”Mengapa anda membeli barang itu?” Jawabnya, ”Ya... sekedar hiasan.”

Jika mau diteliti, perilaku ekonomi yang ”model-begini” akan menyebabkan ilmu ekonomi yang diajarkan di fakultas ekonomi menjadi dipertanyakan. Biasanya, teori yang dibangun oleh kebanyakan fakultas ekonomi menggunakan metode induktif (berdasarkan realita) yang ada di masyarakat. Hasil penelitian tersebut kemudian diajarkan kepada mahasiswanya. Bisa dibayangkan, misalkan hasil penelitian tentang teori perilaku konsumen di Indonesia menunjukkan bahwa keputusan seseorang membeli barang ditentukan oleh faktor-faktor seperti rasa gengsi, trend, mode, dan kesenangan (hedonis). Jika produsen mengetahui hasil penelitian itu, maka mereka akan menggunakan berbagai cara untuk menciptakan produk yang hanya bisa menciptakan trend, prestise, mode, dan berorientasi kesenangan.

Semua ini tidak terlepas dari paradigma perilaku ekonomi yang diajarkan oleh Paul A. Samuelson dan William D. dalam bukunya Microeconomics. Mereka mengajarkan bahwa orang cenderung membeli barang-barang dan jasa-jasa yang nilainya paling tinggi. Tepatnya, mereka menekankan pada teori utility (kepuasan), artinya bahwa orang mengkonsumsi produk semata-mata demi kepuasan-pribadi, sifatnya subjektif (relative). Jadi, produk itu berguna atau tidak, dikembalikan kepada orang yang mengkonsumsinya. Anehnya lagi, mereka mengakui sendiri dalam buku itu (halaman 101), kalo teori utility tidak ada hubungannya dengan faktor psikologis. Dengan kata lain, faktor psikologis manusia dianggapnya tidak mempengaruhi pola konsumsi (citeris paribus). Aneh ya.

Realita itu berjalan karena keinginan (want) selalu ditonjolkan saat membeli produk, bukan karena kebutuhan (need). Coba saja, kalo pas punya uang, pasti yang ada dipikiran, ”Apa yang ingin aku beli dengan uang ini?” Bukan, ”Apa yang aku butuhkan untuk dibeli?” Diakui, inilah salah satu sifat bawaan manusia yaitu tamak (QS. 70: 19) dan mencintai harta secara berlebihan (QS. 89: 20).

Padahal, jika kita mengikuti keinginan maka tidak akan ketemu ujungnya. Rasulullah Saw memberikan informasi, ”Seandainya Tuhan memberikan pada manusia satu bukit penuh emas, maka ia akan meminta satu bukit lagi, dan seandainya ia diberi (bukit emas) yang kedua, niscaya ia akan meminta yang ketiga. Manusia tidak akan pernah merasa puas sampai ia mati.” (Bukhari).

Selain itu, kelemahan yang sering terjadi saat kita memilih produk adalah terbatasnya informasi tentang produk itu (uncompleted information of product). Kita kebingungan, produk seperti apa yang seharusnya dikonsumsi? dan faktor apa yang seharusnya kita pertimbangkan dalam memilih suatu produk?

Atas kesulitan ini, al-Qur’an memberi solusi. Faktor yang digunakan dalam memutuskan penggunaan produk terbagi menjadi dua kategori, yakni halal (yang diperbolehkan) dan tayyib (yang baik-baik). Bisa dicek, dua kategori itu terangkum dengan jelas dalam Qur’an surat 2:57, 2:168, 2:172, 5:1, 5:4, 5:5, 5:88, 6:141, 6:142, 6:143, 6:144, 6:145, 7:157, 7:160, 16:72, 16:114, 17:70, 22:30, dan 23:51.

Al-Jurjani (ahli bahasa arab) dalam kitab at-Ta’rifat (kitab definisi) memberitahukan bahwa halal menyangkut kebolehan menggunakan benda-benda atau apa saja yang dibutuhkan untuk memenuhi keperluan fisik, termasuk didalamnya makanan, minuman, dan obat-obatan.

Misalnya, kita sudah yakin kalo roti yang kita beli adalah halal. Mudah untuk mengetahuinya karena ada label halal dibungkusnya. Tapi, bagaimana kita tau kalo roti itu tayyib untuk dikonsumsi? Jawabnya, ada dikomposisi (bahan) roti itu dan tanggal kadaluarsa. Bisa jadi roti itu halal tetapi tidak mungkin kita makan karena sudah basi. Jika terus ditelusuri, maka tidak hanya berhenti pada tahap itu. Faktor tayyib mendorong kita untuk mengetahui bagaimana cara memproduksinya? Tayyib-kah?

Taukah kita, kalo kue (tart, bolu, apem) sangat memerlukan bahan pengembang seperti ovalet, TBM, SP, atau soda kue. Padahal, bahan-pengembang yang ada di pasaran merupakan turunan lemak yang disebut dengan mono dan gliserol. Rantai lemak yang terdiri dari gliserol dan tiga asam lemak itu dimodifikasi dan dipotong salah satu atau dua rantai asam lemaknya sehingga memiliki karakteristik sebagai bahan pengemulsi sekaligus memberikan tekstur yang lembut. Akibatnya adonan yang terdiri dari telur, lemak (margarin), dan air bisa mengembang karena adanya pengadukan dan pengocokan. Karena adanya lemak, maka hanya ada dua kemungkinan yang dipakai, lemak nabati atau lemak hewani. Jika yang digunakan adalah lemak hewani, maka perlu diselidiki status kehalalan hewan itu. Sebab, bisa saja lemak itu berasal dari lemak babi atau hewan yang tidak disembelih atas nama Allah. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ke-tayyib-an produk harus dimiliki.

Jelas sudah, bahwa sangatlah terkait antara produk yang tayyib dengan yang halal. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Terbukti, dua kategori ini mampu menuntun kita pada pola konsumsi yang seharusnya dilakukan. Jika dua kategori ini kita lakukan, niscaya lambat-laun produsen pun akan berhati-hati dan menyesuaikan dengan kebutuhan kita.

Dibalik itu semua, kategori halal dan tayyib membawa kita pada dimensi transendental (religius). Kategori halal menuntun kita pada keselamatan dunia-akherat. Sedangkan kategori tayyib membawa kita pada kebaikan dunia-akherat. Dengan begitu, kita akan menghindari pola konsumsi yang membahayakan dunia-akherat kita.

Pada produk jasa, kita akan tetap menggunakan kategori halal dan tayyib. Misalnya, jasa pengobatan dengan tajuk Jogja Festival 2007 yang diadakan di stadion Mandala Krida Yogyakarta pada tanggal 30 Mei s.d. 2 Juni 2007. Bisa saja, jasa pengobatannya halal, tapi jika festival itu dicampur dengan ritual keagamaan yang dipimpin oleh Pendeta Dr. Peter Youngren (seorang misionaris-penginjil dari Kanada), maka perlu kita mempertanyakan ke-halal¬-an dan ke-tayyib¬-an acara pengobatan itu. Apakah acara pengobatan itu membahayakan dunia-akherat kita?

Tidak hanya berhenti pada kasus roti dan acara pengobatannya Pdt. Dr. Peter Youngren, tapi untuk semua produk. Kita tetap menggunakan kategori halal dan tayyib. Lebih luas lagi, kedua kategori tersebut tetap digunakan pasca-pembelian. Apakah produk digunakan untuk aktivitas yang halal? Apakah produk dimanfaatkan dengan tayyib?

Kasusnya, karena notebook masa kini sudah bisa mengakses koneksi Wi-Fi, maka tempat-tempat umum termotivasi untuk menyediakan hotspot sebagai fasilitas ekstra. Hotspot adalah area yang memiliki koneksi internet yang disebar menggunakan koneksi Wi-Fi. Banyak orang membeli notebook karena akses internet menjadi gratis (free). Pada kondisi inilah, fasilitas hidup akan membawa pada pilihan penggunaan secara halal-tayyib atau tidak. Positifnya, akses internet dapat dijadikan sebagai sarana menjemput rizki. Tidak sedikit orang yang kaya dari internet. Tapi, dari internetlah kerusakan moral terjadi. Berapa situs porno yang terbang-bebas diinternet? Puluhan, ratusan, ribuan? Semuanya gratis untuk diakses. Pada kondisi inilah kita patut menanyakan tentang ke-halala-an dan ke-tayyib-an itu. Semua berpulang pada perilaku saat kita menggunakannya.

Kategori tayyib juga terwujud pada bagaimana kita memperlakukan produk. Caranya dapat ditemukan di buku pemakaian-produk. Ponsel misalnya, pernahkah kita mengetahui bagaimana cara memperlakukan baterai ponsel dengan baik? Maka, kewajiban kita adalah mengerti bagaimana memanfaatkan dan merawatnya. Taukah kita? supaya baterai ponsel tetap terjaga kualitasnya (hemat), maka perlu dilakukan beberapa hal, yaitu mematikan fasilitas getar, menghindari aktif getar sekaligus dering, mengurangi main game, mematikan fasilitas GPRS, mematikan ponsel waktu recharge, menghindari mematikan dan menghidupkan posel terlalu sering karena searching butuh energi banyak, menghindari me-charge semalaman, dan jika ponsel sulit mendapatkan sinyal, maka lebih baik dimatikan. Tentu saja, cara tersebut berlaku untuk semua merk ponsep dan baterai. Yang penting untuk digaris-bawahi bahwa sebagus apapun dan secanggih apapun ponsel yang kita memiliki akan rusak sebelum masanya karena tidak digunakan dan dirawat dengan tayyib. Dengan demikian, tentu saja tidak hanya utility yang dikejar namun lebih meningkat pada derajat maslahat.

Derajat maslahat memperhatikan efek jangka panjang, bukan sikap pragmatis. Tingkatan konsumsi maslahat menuju keamanan akherat, bukan hanya ketamakan dunia. Maka, telitilah pra serta pasca pembelian produk. Tetap pertahankan kategori halal dan tayyib. Semoga kita selamat dunia-akherat. Âmîn.

***
[dwi.s]

Tidak ada komentar: