Sabtu, 12 April 2008

Keshalehan Sosial

Tiga kisah nyata yang diangkat dalam tulisan ini merupakan hasil penelitian-kualitatif dari Prof. Dr. Iwan Triyuwono, SE., Ak.., PhD., semoga dapat dimaknai pada masa kini untuk diambil ekstrak nilai yang terkandung didalamnya. Tiga kisah nyata tersebut tentang (1) Banawir yang menjual jamu tradisional dan alami, (2) Emba, seorang nelayan yang berdagang ikan, dan (3) Aiti yang berjualan es lilin.

Kisah nyata (1): Banawir, Pembuat Jamu Tradisional dan Alami
Usaha yang dilakukan Banawir (60 th) adalah menjual jamu tradisional yang dibuat dari bahan alami dari daun-daunan (tanaman obat). Setiap jam 6 pagi Banawir pergi ke kebun untuk mengambil daun-daunan sebagai bahan untuk membuat jamu. Setelah berbagai jenis daun yang dibutuhkannya dipetik dan dikumpulkan, ia pulang ke rumah untuk mulai meracik bahan dan memprosesnya menjadi jamu. Jamu yang ia buat adalah jamu mentah, artinya daun-daun segar tadi setelah dicuci bersih langsung dihaluskan dalam bentuk bubur. Dalam bentuk seperti itu, jamu sudah siap dijual dan diminum. Jamu yang dibuat Banawir tidak dapat bertahan lama. Pada sore hari, jam 5-6 sore jamu tersebut sudah tidak dapat dikonsumsi lagi. Dalam sehari itu, jamu yang ia buat tidak mesti habis dibeli orang. Tetapi meskipun tidak terjual semua, setiap hari ia tetap membuat jamu. Profesi ini ia lakukan selama bertahun-tahun, dan bahkan diturunkan ke, dan dilanjutkan oleh, anaknya. Pelanggannya adalah para tetangga di kampung yang sama dan masyarakat dari kampung lainnya. Secara ekonomi, usaha ini tidak memberikan pendapatan yang cukup, atau mungkin bahkan merugi. Tetapi mengapa usaha ini dilakukan sampai bertahun-tahun dan bahkan diturunkan kepada anaknya? Ketika ditanya mengapa demikian, maka Banawir akan menjawab: ”Saya cuma ingin membantu orang saja. Saya senang sekali kalau pelanggan saya sembuh setelah minum jamu saya. Itu saja! Alhamdulillah, Allah memberi kesempatan saya untuk membantu orang lain.”
Dari kisah nyata di atas, kita dapat melihat bahwa Banawir sama sekali tidak berorientasi pada keuntungan dari usaha penjualan jamunya. Tujuannya untuk membantu orang agar cepat sembuh dan sekaligus sebagai bentuk ibadah. Dari penjualan tersebut memang ia mendapatkan uang. Tetapi jumlahnya tidak seberapa.
Dalam proses produksinya, Banawir sama sekali tidak mengeluarkan biaya produksi (costs of production). Bahan baku yang berupa daun-daunan tinggal mengambil di kebun dan tenaga yang memprosesnya tidak pernah dihitung berapa besarnya. Jadi praktis biaya produksinya nol. Kalau kemudian ia menjual jamunya, maka total penjualan tersebut merupakan penghasilan yang ia dapatkan.

Di samping mendapatkan uang, Banawir juga mendapatkan kesenangan (happiness), yaitu seperti yang ia ungkapkan: ”Saya senang sekali kalau pelanggan saya sembuh setelah minum jamu saya.” Kesenangan yang dimaksud yaitu kesenangan psikis (jiwa), bukan kesenangan sebagaimana yang dipahami oleh utilitarianisme. Bagi utilitarianisme, kesenangan tersebut dipahami sebagai utility, yaitu dalam pengertian materi. Jadi, kesenangan menurut utilitarianisme adalah hanya kesenangan materi.

Boleh jadi, rasa senang itu sebetulnya muncul karena ada rasa altruistik dalam diri Banawir. Altruistik adalah sifat mementingkan orang lain. Kita sebetulnya dalam kehidupan sehari-hari dapat merasakan rasa itu. Ketika kita meninggalkan ego dan mengedepankan sifat altruistik dalam bentuk menolong orang lain, maka yang timbul adalah rasa senang. Rasa yang luar biasa berpengaruh bagi kepribadian seseorang.

Ungkapan Banawir: ”Alhamdulillah, Allah memberi kesempatan saya untuk membantu orang lain,” menunjukkan kesyukurannya pada Allah SWT. Secara implisit ungkapan ini menunjukkan bahwa apa yang ia lakukan sebetulnya merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT. Ini menyangkut aspek spiritual dari Banawir. Artinya, apa yang ia lakukan sebagai aktivitas kehidupan sehari-hari (dalam hal ini membuat dan menjual jamu) sebetulnya bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan ibadah. Di sini Banawir merasakan kehadiran Allah SWT.

Pada kasus satu tersebut kita dapat melihat bahwa usaha yang dilakukan oleh Banawir menghasilkan tiga hal bagi dirinya, yaitu: uang, rasa altruistik dan senang, serta rasa kehadiran Allah SWT. Jika kita perhatikan, maka uang yang dimaksud di sini adalah penghasilan yang diperoleh dalam bentuk materi, yaitu penghasilan berupa hasil penjualan jamu. Sementara, rasa altruistik dan senang juga merupakan “penghasilan” pada tingkat psikis yang diperoleh Banawir akibat aktivitasnya menjual jamu. Kemudian, rasa kehadiran Allah SWT yang muncul ketika melakukan usaha tersebut juga dapat dikatakan sebagai “penghasilan” spiritual yang diperoleh Banawir. Hal yang mirip juga akan kita jumpai pada kisah nyata kedua.

Kisah nyata (2): Emba, Nelayan yang Berdagang Ikan
Emba (50 th) adalah seorang nelayan. Ia memiliki sebuah perahu ukuran besar di kampungnya. Dengan tiga orang mitranya (yang sekaligus adalah tetangganya dan bahkan salah satu diantaranya masih sanak famili) pergi ke laut untuk ”menangkap” ikan. Biasanya jika pergi ke laut perlu waktu 3-4 hari. Setelah mendapat ikan, istrinya membawa dan menjual ikan hasil tangkapan tersebut ke pasar. Dalam waktu 2-3 hari semua ikan biasanya sudah terjual. Sebagian ikan sebelum dijual diproses di rumah untuk pengawetan alami, misalnya diasap atau dikukus dan sebagian dijadikan ikan asin.

Setelah semua ikan terjual, pada hari yang ditetapkan biasanya Emba memanggil mitranya untuk membagi-hasil penjualan ikan. Pada pertemuan tersebut Emba dan istrinya memberikan informasi tentang hasil penjualan dan total biaya yang telah dikeluarkan. Informasi ini diberikan secara jujur dan transparan. Kemudian hasil yang diperoleh (selisih lebih penjualan atas biaya) dibagi kepada mitra berdasarkan kesepakatan pada pertemuan tersebut. Perlu diketahui besarnya pembagian ini tidak selalu sama dengan kejadian tangkapan lainnya, tergantung pada kontribusi kerja masing-masing mitra pada saat berangkat ke laut dan kembali lagi ke darat. Bila terjadi kerugian, biasanya Emba menanggungnya sendiri secara ikhlas. Itu dilakukan karena Emba tahu bahwa semua mitranya tergolong miskin. Emba sudah menganggap semua mitranya sebagai saudara sendiri.

Biasanya, ketika Emba mengundang para mitra untuk mendistribusikan bagi-hasil, wajah mereka begitu ceria. Mereka senang karena bakal menerima uang hasil jerih payah selama melaut. Keceriaan tersebut sekaligus menunjukkan kepuasan mereka atas hasil yang diperoleh.

Hikmah kisah nyata (2) ini mirip dengan kisah nyata (1). Pertama, jelas Emba memperoleh uang dari hasil penjualan ikannya. Hasil penjualan ikan ini tidak lain adalah penghasilan materi. Kedua, dalam proses usaha yang ia lakukan ia selalu menganggap mitranya sebagai saudaranya sendiri. Rasa persaudaraan ini berlangsung sepanjang proses usaha; mulai persiapan berangkat ke laut hingga sampai pendistribusian bagi-hasil, dan bahkan ketika masuk pada siklus berikutnya yaitu persiapan berangkat ke laut. Tidak hanya rasa persaudaraan yang muncul, rasa senang juga ada pada sejak proses awal hingga akhir. Rasa senang ini secara alami muncul karena semata-mata kuatnya rasa persaudaraan. Tidak ada konflik yang cukup berarti di antara mereka. Jika ada masalah kecil, biasanya diselesaikan secara terbuka. Rasa senang yang diekspresikan dalam keceriaan merupakan bagian lain yang selalu timbul dalam proses usaha yang dilakukan Emba dan mitranya. Rasa ini sangat membatu mereka untuk bekerja tanpa lelah dan memberikan motivasi yang tinggi.
Pada kisah nyata kedua ini, aspek spiritual tampak pada keikhlasan Emba pada saat terjadi kerugian. Keikhlasan tersebut di samping memang aspek spiritual juga didukung oleh rasa persaudaraan yang kuat. Dengan rasa persaudaraan yang kuat ini, rasa ikhlas begitu mudah muncul. Perlu diketahui bahwa Emba adalah seorang muslim yang sangat alim. Di kampungnya, beliau dikenal sebagai orang yang pernah nyantri pada ulama kharismatik dan terkenal seperti KH. Moh. Cholil, salah seorang pendiri Nahdatul Ulama (NU). Tidak jarang juga Emba bertindak sebagai imam sholat di mesjid. Para mitranya sangat menghormati Emba, demikian juga masyarakat di sekelilingnya.

Sedangkan kisah nyata tiga tentang Aiti, sosok anak yang polos dan ikhlas.

Kisah nyata (3): Aiti yang Berjualan Es Lilin
Aiti (10 tahun) berjualan es lilin di sekolahnya. Dia berjualan sebetulnya bukan untuk mencari uang bagi kebutuhannya sendiri, tetapi untuk sekolahnya. Di kelasnya, Pak Guru punya kreativitas untuk mengumpulkan dana keperluan bersama yaitu dengan cara berjualan es lilin di sekolah. Es lilin tersebut dikulak dari pabrik yang lokasinya tidak jauh dari sekolah. Setiap bulan biasanya Pak Guru memilih dua orang siswa untuk mengulak dan menjual es di sekolah. Salah satu dari siswa tersebut adalah Aiti.

Aiti menerima tugas itu dengan senang hati, karena bagi dia tidak ada target penjualan setiap harinya. Pabrik espun juga memberikan kelonggaran. Artinya, jika pada suatu hari es tersebut terjual hanya 75% (atau berapun yang terjual), maka sisanya dapat dikembalikan ke pabrik. Menjelang pulang sekolah, Aiti biasanya menghitung besarnya total penjualan dan besarnya biaya kulaan (cost) yang harus dibayarkan ke pabrik. Lebihnya (margin) yang diperoleh oleh Aiti semuanya diserahkan ke sekolah. Di sini, Aiti sama sekali tidak mendapatkan bagian dari usahanya menjual es. Bagi Aiti hal itu tidak masalah, malah ia senang sekali berjualan karena ia lakukan dengan teman-temannya sambil bermain.

Dalam pikiran Aiti yang polos tidak terbersit keinginan untuk mendapatkan sedikit bagian dari margin yang ia perolah pada saat ia menjual esnya. Ia enjoy saja. Setiap harinya ia ceria, berjualan sambil bercengkrama dengan teman-temannya pada saat jam istirahat sekolah. Dari apa yang ia lakukan, sebetulnya ia dapat memperoleh bagian dari keuntungan hasil penjualan es lilinnya. Tetapi ia tidak melakukan itu. Ia menyerahkannya kepada sekolah untuk digunakan kepentingan bersama semua siswa. Dari kasus Aiti ini, Aiti mendapatkan uang (meskipun tidak diambil, tapi diserahkan ke sekolah) dan mendapatkan kesenangan, yaitu menjual es sambil bermain dengan teman-temannya di sela-sela waktu istirahat sekolah. Jadi, di sini ada nilai-tambah ekonomi dan psikis. Nilai-tambah psikis terdiri dari rasa senang dan altruistik. Rasa altruistik ini ada pada Aiti, karena ia tidak memikirkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Terbukti ia memberikan uang hasil penjualan esnya pada sekolah.

Dalam masyarakat modern, biasanya yang menjadi perhatian utama dalam melakukan usaha adalah uang. Artinya, orang melakukan usaha semata-mata untuk mendapatkan penghasilan dalam bentuk uang. Dari penghasilan ini kemudian diputar lagi untuk mendapatkan penghasilan uang lagi, begitu seterusnya. Dari uang diputar sedemikian rupa dan dirobah menjadi uang lagi. Sederhananya, usaha yang dilakukan oleh manusia modern pada dasarnya mentransformasi materi untuk menjadi materi yang lebih besar (working capital).

Pola berpikir demikian itu cukup “wajar,” karena manusia modern hanya menganggap bahwa kebahagiaan itu adalah terletak pada materi. Tambahan lagi pemikiran ekonomi modern lebih banyak ditekankan pada maksimasi utility (kepuasan individu).

Hikmah dari tiga kisah nyata di atas sudah dapat dilihat bahwa dalam satu kegiatan bisnis, pelaku bisnis sekaligus mendapatkan beberapa bentuk kesejahteraan, yaitu mulai dalam bentuk uang sampai pada rasa kehadiran Allah SWT. Uang, sebagaimana dalam kasus di atas, adalah nilai-tambah ekonomi yang diperoleh dari usaha yang dilakukan. Bagi dunia bisnis modern, uang sebagai nilai-tambah ekonomi (economic value-added) dan dianggap sebagai “Tuhan” sehingga menjadi sesuatu yang dianggap penting, sangat utama, dan “dipuja”. Dunia bisnis modern melakukan reduksi yang kebablasan atas realitas kehidupan hanya pada realitas materi. Sehingga jika sebuah bisnis tidak menghasilkan materi (uang) secara optimal, maka bisnis tersebut ditutup. Jadi, bisnis hanya sekedar alat untuk mendapatkan materi.

Pandangan bisnis modern yang kebablasan tersebut sangat bertentangan dengan ketiga kisah nyata diawal. Berdasar pada ketiga kisah nyata di atas, dapat kita ketahui bahwa bisnis juga ada nilai-tambah mental (mental value-added) berupa rasa altruistik, rasa senang, dan rasa persaudaraan, serta nilai-tambah spiritual (spiritual value-added) berupa rasa ikhlas dan adanya rasa kehadiran Allah SWT. Penyatuan nilai-tambah mental dan spiritual dengan nilai-tambah ekonomi ini merupakan satu tahapan menuju nilai-tambah syari’ah. Dalam konteks bisnis yang berbasis syari’ah, tentu saja setiap bisnis wajib dilakukan berdasarkan etika syari’ah. Etika syari’ah yang menyangkut cara bagaimana nilai-tambah tersebut diperoleh, diproses, dan didistribusikan. Dengan demikian, wujud keshalehan sosial dalam dunia bisnis ketika tujuan bisnis tidak hanya “memuja uang”, tetapi juga mementingkan orang lain; ikhlas; dan selalu merasakan kehadiran Allah SWT.

***
[dwi.s.]

Tidak ada komentar: