Sabtu, 12 April 2008

Financial Bebas Risywah

“Kami hanya berani memberikan 5 juta sebagai ucapan terima kasih,” kata John dengan suara yang jelas. Andrean pun berpikir sembari membolak-balik berkas yang diajukan John.
“Tidak, Saya minta 15 juta,” Andrean yakin kalo nilai itu sebanding dengan uang yang akan ia cairkan untuk John.
“15 juta?,” John tercengang. Hampir 15 detik John dan Andrean terdiam. Tidak terdengar suara apapun di telpon itu.
Andrean membuka pembicaraan lagi, “Soalnya, itu bukan hanya untuk saya. Tapi juga untuk yang tanda tangan.”
“Tapi nilai itu terlalu tinggi jika dibandingkan dengan tawaran dari pegawai yang lain,” John masih berusaha menawar.
“Silakan, tapi seperti yang saya katakan kemarin, saya bisa mencairkan pinjaman itu kurang dari 24 jam. Semua sekaligus,” Andrean meyakinkan. Dan sepertinya Andrean ingin menyudahi tawar-menawar itu.
“Ok, besok saya datang ke kantor jam 09.30,” John mengakhiri pembicaraan.

Andrean pun mematikan dan meletakkan HP Nokia 9500 itu di atas meja, persis di samping kanannya. Ia berbaring dan berusaha memejamkan mata.
“Pak Lurah tadi kesini. Nanyain uang itu bisa nggak?,” kata istri Andrean yang tidur di samping kirinya.
“Udah malam, besok aja ngomonginnya,” jawab Andrean.
“Mas, kata Pak Lurah sudah hampir seminggu kamu belum ngasih jawaban. Makanya, tadi kesini. Kalo lewat telpon katanya nggak enak,” istri Andrean menambahkan.
Andrean membuka mata, meletakkan kedua tangan di belakang kepalanya. “Besok, uangnya mau aku kasih ke orang lain,” jawab Andrean.
Istri Andrean kaget. Kini dia duduk dan memandang suaminya dengan penuh pertanyaan.
“Nggak usah kaget gitu. Salah siapa, aku udah tawarin lebih murah. Tapi Pak Lurah malah nolak. Ya udah, aku kasih aja sama John. Dia mau beri aku imbalan yang lebih besar,” Andrean berdalih.
“Tapi mas.., Pak Lurah mau pakai uang itu buat…”
“Buat nambah modal mebel usahanya. Biar pemuda desa yang nganggur itu bisa kerja. Aku dah tau..,” sela Andrean padahal istrinya belum selesai bicara.
Andrean membalikkan badan ke kanan, “Aku minta uang 15 juta itu untuk apa? Ya untuk bayar kontrak rumah ini.”
“Tapi mas..,” istrinya masih mau bicara.
“Yang penting, siapa mau bayar lebih besar, pasti aku bantu. Titik! Udah aku mau tidur,” Andrean menutup kepalanya dengan bantal.

Bagi Andrean, uang 15 juta yang esok paginya akan ia dapat sudah menjadi pendapatan sampingan. Lumayan, kerja di bagian pelemparan kredit membuatnya tidak hanya lebih bebas bernafas, tapi sekaligus bisa menambah penghasilan. Penghasilan yang jauh lebih besar dari gaji bulanannya. Syukur-syukur kalo banyak yang memerlukan pinjaman. Biasanya dia punya harga khusus dari setiap jumlah uang yang akan dipinjamkan. Saat itulah Andrean mulai tawar-tawaran harga dengan beberapa calon peminjam. Siapa yang bersedia memberi imbalan terbesar, dia yang akan membawa pulang uang pinjaman itu.

Tak jauh dari cara Andrean mendapatkan penghasilan tambahan, Wibowo juga melakukannya. Wibowo, menjadi orang penting dikantornya. Beberapa kali telah berhasil memasukkan sarjana-sarjana muda yang resah mencari kerja. Ini pun menjadi sambilannya. Tentu saja, hasilnya lebih besar dari gaji pokoknya. Hanya saja, mungkin nasib baik belum menghampirinya. Kini, Wibowo justru harus memikul beban hutang yang begitu banyak.

Kisahnya, setiap penawaran pensiun dini tiba, perusahaan tempat Wibowo kerja jelas membutuhkan tenaga kerja baru. Disaat itulah Wibowo mulai beraksi. Dia menawarkan janji kerja kepada lima orang. Disepakati pekerjaan itu dapat diperoleh mereka dengan menitipkan uang tali-kasih sebesar harga jabatan yang akan diperolehnya. Macam-macam, ada yang 25 juta hingga 65 juta. Mahal? Tentu tidak jika dibandingkan dengan jabatan struktural yang akan diperoleh orang itu. Pangkat, gaji, tunjangan-tunjangan dan dana pensiun yang besar sudah menjadi angan-angan yang hampir terwujud bagi para pembeli pekerjaan itu. Lagian, mereka hanya membayar setengahnya. Sebagai tanda kesepakatan, sisanya akan diberikan setelah pekerjaan itu didapatkan.

“Alhamdulillah, saya masih dipercaya untuk merekomendasikan orang,” kata Wibowo meyakinkan mereka.
Kelima orang itu pun mulai melengkapi syarat administrasi lamaran kerja. Mereka juga mengikuti ujian tertulis dan wawancara seperti kebanyakan pelamar lainnya. Hanya bedanya, mereka punya Wibowo, orang dalam yang jelas membantu mereka. Hingga saat pengumuman tiba. Nama dan nomor register kelima orang itu tidak tercantum dalam daftar pengumuman. Mereka langsung menghubungi Wibowo, marah-marah. Dan tentu, minta uang mereka kembali.

Wibowo panik, gusar. Ia putuskan menemui petingginya yang menerima uang darinya. Dua pejabat yang ia temui. Keduanya menerima uang dari Wibowo terkait urusan penerimaan kelima orang pencari kerja itu. Dengan wajah penuh heran Wibowo bertanya, “Kenapa orang saya tidak masuk?”
Dengan santai, pejabat itu menjawab, “Belum saatnya mereka mendapatkan pekerjaan itu. Mereka masih terlalu muda.”
“Tapi bapak sudah menerima uang dari saya,” bantah Wibowo.
Lagi-lagi, dengan nada tenang pejabat itu berdalih, “Saya merasa tidak menerima, apalagi meminta. Anda sendiri yang mengirim uang itu ke rekening saya.”

Kiamat, hari itu terasa menjadi hari terakhir bagi Wibowo. Ia tinggalkan ruang pejabat itu dengan sumpah campur caci-maki yang keluar bergantian dari mulutnya. Ia melajutkan lankah kakinya menuju pejabat yang kedua. Jawaban yang kedua ini tidak jauh beda, bahkan lebih meruntuhkan kehidupan Wibowo.
Jauh, jauh lebih santai pejabat kedua ini berkata, “Anda tahu kenapa orang anda tidak terjaring? Karena ada orang lain yang membayar lebih mahal dari harga yang saya tawarkan.”

Daar..! Jawaban itu seperti petir yang menyambar kepala Wibowo. Tubuhnya lemas, ia melangkah pulang. Tidak ada lagi uang yang menghampirinya. Justru surat hutang yang akan menghiasi kuburannya.
“Sial, aku tidak mendapat apa-apa. Sekarang justru aku punya hutang…!” teriak Wibowo dalam hati yang remuk.

Ia sama sekali tidak makan dari uang itu. Semua uang muka yang diberikan kelima pencari kerja itu ia kirimkan ke rekening dua pejabat itu. Rencananya, Wibowo akan mendapat bagian dari uang pelunasan setelah mereka diterima kerja. Tapi, uang muka itu habis dimakan rekening kedua pejabat itu. Dan, kelima pencari kerja it uterus menuntut Wibowo untuk mengembalikannya.

Harta yang ia miliki tidak akan cukup untuk mengembalikan uang itu. Ia putuskan untuk bersembunyi di luar kota. Kini, tidak lagi kelima orang itu yang mencarinya, tapi juga polisi yang mencarinya karena laporan kasus penipuan. Wibowo, tidak hanya gagal mendapatkan uang. Sisa hidupnya habis dengan status buronan dan keterpurukan tanpa keluarga.

Dua kisah tersebut tentu bisa memberikan pelajaran bagi kita. Sadar atau tidak, perilaku ekonomi sehari-hari terasa tidak bisa dilepaskan dari lingkaran suap menyuap. Sebab, kita seringkali kesusahan membedakan antara suap dan hadiah. Dari kisah pertama misalnya, John menawarkan uang 5 juta kepada Andrean sebagai wujud terima kasih. John menganggap bahwa Andrean sangat membantunya untuk mendapatkan penjaman dari bank itu. Selain itu, bagi Andrean sendiri, uang 15 juta yang ia minta memang benar-benar akan digunakan untuk memperlancar proses pencairan pinjaman itu. Uang 15 juta itu akan dibagi-bagi untuk atasannya. Sekilas, tidak ada yang ganjil dalam transaksi ini. John dan Andrean sama untung. Sama-sama mendapat uang.

Sedangkan kasus kedua, Wibowo tidak beruntung seperti Andrean. Dia terikat dengan kelima orang pencari kerja itu, tetapi tidak mendapat jaminan apa-apa dari kedua pejabat itu. Kerugian secara materi juga dialami oleh kelima pencari kerja itu. Sudah tidak dapat kerja, uang hilang lagi. Belum lagi kalau uang yang dibayarkan kepada Wibowo itu juga uang pinjaman. Berarti, sudah tidak dapat kerja, uang hilang, plus hutang bertambah. Seandainya diterima bekerja, kita bisa menebak kemungkinan pertama yang akan mereka lakukan adalah mengupayakan balik-modal. Ya, mengejar balik-modal karena pekerjaan itu mereka beli dengan uang yang tidak sedikit jumlahnya.

Apapun namanya, bisa uang tanda tali-kasih, wujud ucapan terima kasih atau lainnya. Tetap saja disebut sebagai suap. Kata suap ini, yang dalam bahasa Arab disebut rasywah atau rasya, secara bahasa bermakna memasang tali, ngemong atau mengambil hati. Definisi yang sederhana yaitu sesuatu yang diberikan kepada seseorang dengan syarat orang yang diberi tersebut harus dapat menolong orang yang memberi. Maksudnya, sesuatu yang dapat berupa uang ataupun harta benda yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan meraih sesuatu yang diinginkannya.

Jadi, secara sederhana, unsur-unsur perilaku suap ini meliputi pertama adanya penerima suap, yaitu orang yang menerima sesuatu dan orang lain baik berupa harta, uang maupun jasa supaya mereka melaksanakan permintaan si penyuap. Kedua, pemberi suap, yaitu orang yang menyerahkan harta, uang atau jasa untuk mencapai tujuannya. Dan yang ketiga suapan, yaitu harta, uang atau jasa yang diberikan sebagai sarana untuk mendapatkan sesuatu yang diminta.

Sedangkan hadiah pada dasarnya diberikan bukan karena pamrih. Hadiah merupakan sesuatu yang diberikan kepada/oleh seseorang tanpa syarat apapun. Artinya, tidak ada ikatan tertentu untuk mendapatkan/memberi hadiah. Inilah satu kalimat yang menjadi pembeda antara suap dan hadiah, yaitu ikatan karena adanya syarat.

Tipisnya dinding pemisah antara suap dan hadiah akan membuat kita lebih berhati-hati. Karena Rasulullah Saw. bersabda, “La’anallahu rasyî walmurtasyî fîl hukmi.” Yang artinya, “Allah melaknati penyuap dan penerima suap dalam proses hukum.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Hiban). Semoga kita tidak terjebak dalam praktik risywah ini, amien..
***
[dwi.s]

Tidak ada komentar: