Sabtu, 12 April 2008

Keajaiban Silaturahmi

“Oktober, ya Oktober,” aku coba mengingat-ingat.
“Ya, sebelum pamanmu ini ujian pegawai negeri. Terus bulan kemarin aku juga mampir ke rumah, tapi katanya kamu nggak pernah pulang,” kata pamanku.
“He...ya,” jawabku.
“Udah, maenlah hari ahad besok. Adek-adekmu ini pada kangen,” bujuk pamanku.
“Insya Allah, ntar hari jum’at saya kabari lagi,” aku menyudahi obrolan di pagi itu.
“Ya, kami tunggu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam”

Klik, aku mematikan Hp-ku. Seperti biasanya, rabu pagi itu bersiap-siap untuk berangkat kerja. Berkali-kali merapikan rambut di depan cermin. Mundur kebelakang dan maju lagi, masih di depan cermin memastikan tidak ada yang salah dengan pakaianku. Warna biru, kemeja itu kesayanganku disamping hari rabu memang harus memakai seragam kemeja lengan panjang warna itu.

***

Semuanya siap. Motor sudah kubersihkan, sepatu selesai disemir dan berkas-berkas nasabah sudah di tas kerja. Sebelum keluar kamar, aku mematikan dulu winamp yang memutar lagu penyemangat pagiku, Bingkai Kehidupan milik group nasid Shotul Harokah. Ya, bismillah, aku berangkat ke kantor.

Tepat, aku sampai di kantor ketika jam tanganku menunjukkan pukul 07.30 pagi. Setelah selesai meletakkan tas dan jaket di meja kerja, aku langsung menuju ruang tengah untuk memberikan materi kultum. Kantorku memiliki kebiasaan yang menarik. Kami selalu mengawali kerja dengan mendengarkan kultum dan do’a bersama. Tidak lebih dari 20 menit. Penyampai kultum dari karyawan. Ada yang kebagian materi motivasi, ada juga yang menyampaikan masalah ibadah. Aku sendiri kebagian mu’amalah iqtishodiyah. Dan, hari itu aku menyampaikan pentingnya silaturahmi sebagai pintu datangnya rezki. Begitu selesai mendengar materi yang aku sampaikan, ada rekan kerja yang hanya tersenyum kepadaku. Tapi ada juga yang bercanda dengan berkata, “Ya silaturahmi itu penting buat kita. Kalo tidak, gimana cara kita melayani nasabah dengan baik selain mengunjunginya? He…”
Aku pun mengiyakan sembari tersenyum. Ya memang benar. Aku harus mengunjungi nasabah karena memang itu pekerjaanku. Sudah hampir dua tahun, aku bekerja di bagian pelemparan dana kredit di salah satu baitul maal wa tamwil, di kota gudeg ini. Mendapat fasilitas motor dari kantor memudahkan aku bergerak lebih fleksibel. Walaupun sesekali memakai mobil, tapi itu untuk acara tertentu saja.

***

Padatnya kerja dan tingginya mobilitas terkadang membuatku jenuh. Terlebih dengan bertambahnya kredit bermasalah. Beberapa nasabah besar beberapa bulan ini terhambat membayar cicilan pinjaman yang kami berikan. Akibatnya, setiap evaluasi dari kantor, aku selalu mendapat teguran. Jangan sampai kredit itu macet total. Seakan-akan tidak ada lagi kepercayaan kepadaku. Pihak kantor tidak terlalu berharap dengan penjualan jaminan yang telah diserahkan nasabah. Tahun kedua ini mungkin bukan tahun keberuntunganku. Kinerjaku semakin menurun. Nasabah kredit yang aku tangani mengalami penurunan omset hingga tersendat-sendat saat membayar pinjamannya.

Kondisi ini membuatku lelah, tidak hanya fisik tapi juga pikiran. Kepercayaan diriku hilang entah kemana. Mungkin juga kepercayaan rekan kerja karena nasabah yang aku rekomendasikan ternyata bermasalah. Aku coba untuk tenang menghadapinya. Hanya saja, aku tidak terlalu kuat menanggung rasa malu ketika bertemu rekan kerja di kantor. Mungkin, mereka lebih beruntung mendapat nasabah kredit yang memiliki usaha yang bagus. Rasa penat penuh resah dan lelah itulah yang akhirnya membawaku ke rumah paman di Wonosobo. Besar harapanku untuk mendapat udara segar di sana. Semoga udara sejuk di pagi hari membuatku lebih fresh. Dan, tentunya nasehat paman di malam hari selalu kurindukan. Aku pun berangkat dari Jogja hari sabtu sore.

Alhamdulillah, tidak kurang dari tiga jam aku sudah sampai di depan rumah paman. Senang rasanya disambut dengan senyum hangat paman, bibi dan kedua adekku. Malam itu aku tidak berani melepas jaket karena dingin. Kaos kaki panjang dan tebal sudah aku siapkan untuk menahan dinginnya malam saat tidur. Malam itu kami melepas rindu dengan makan malam bersama di depan televisi, di ruang tengah. Aku senang karena bibi sudah memasak khusus untukku. Aku pun membawakan oleh-oleh khas Jogja untuk mereka. Suasana itu membuatku lupa dengan pekerjaanku. Hingga hari semakin malam, kami pun tidur.

Alarm Hp-ku berdering pukul 04.15 pagi. Aku bangun. Paman juga sudah bangun, di kamar mandi sedang mengambil air wudhu untuk sholat subuh. Paman tidak berani membangunkanku karena takut aku masih lelah. Kami pun berangkat bersama ke masjid yang tak jauh dari rumah. Huh…masih dingin, aku belum bisa merasakan kesegaran pagi. Seingatku, kami sholat subuh berjama’ah tepat pukul 04.40 pagi. Ba’da sholat kami berbincang sejenak dengan jama’ah lainnya. Dikenalkannya aku dengan jama’ah masjid itu. Orangnya baik-baik, ramah. Tak terasa jam dinding masjid sudah menunjukkan pukul 05.10, kami pun pulang. Di perjalanan pulang ke rumah, paman menawari aku mie ongklok khas Wonosobo. Belinya di dekat alun-alun, untuk sarapan katanya. Aku pun mengiyakan. “Boleh, sudah lama nggak makan mie ongklok,” kataku.

Yes, ini baru segar. Ahad pukul 06.00 aku merasakan kesegaran pagi itu. Kubasahi tanganku dengan embun pagi yang telah menjadi butiran air direrumputan. Segar sekali, lelahku hilang. Sembari menunggu adek-adek dan bibi bersiap-siap, aku keluar rumah. Melemaskan otot-otot dari kepala hingga kaki. Aku mulai merasa nyaman. He…tapi aku belum berani mandi karena masih dingin. Jadi, hanya gosok gigi saja. Kata paman, “Nanti saja mandinya setelah sarapan.” Kami pun pergi ke alun-alun, untuk sarapan mie ongklok.

Setelah sarapan, kami langsung pulang. Belum sempat jalan-jalan karena bibi mesti mengantar adek-adek untuk ikut lomba mewarnai. Paman sendiri, ada acara di SMU untuk bertemu pengurus rohis, membicarakan persiapan pesantren kilat di bulan ramadhan tahun itu. Aku memutuskan untuk ikut paman. Sebelumnya kami mengantar bibi dan adek-adek ke tempat lomba. Kemudian kami meluncur ke SMU. Paman menjadi guru agama Islam di SMU Negeri itu baru tiga bulan, setelah pengangkatannya jadi pegawai negeri.

Kami bertemu pengurus rohis di mushola sekolah. Terbawa suasana itu, ingatanku kembali ke masa SMU dulu yang juga aktif di rohis. Aku senang sekali berkenalan dengan mereka. Sebelum rapat dimulai, kami menyempatkan sholat dhuha berjama’ah. Seusai sholat sunah itu, rapat pun dimulai. Semangat mereka merencanakan pesantren kilat memberikan aura positif bagiku. Aku mendengarkan mereka rapat. Rencananya, mereka akan mengadakannya full dua minggu.

Mungkin, karena duduk bersila terlalu lama membuat kakiku semutan. Aku pun pamitan, meninggalkan rapat itu. Bukan untuk pulang, sekedar melemaskan kaki di samping masjid. Belum ada lima menit, paman memanggilku. “Ini penting,” katanya.
Aku dengarkan baik-baik pamanku bicara, “Kami butuh kitab.”
“Kitab?” tanyaku.
“Iya, untuk kitab juz ‘amma dengan tajwid berwarna untuk peserta pesantren kilat ini.”
Aku menatap pamanku dengan serius. Aku terdiam, seakan tidak percaya. Aku masih saja belum percaya.
“Lho, katanya dulu kamu punya teman, distributor kitab itu?”
“Aku masih nggak percaya?”
“Apanya yang nggak percaya? Kami butuh sekitar 80 kitab yang standar aja. Yang seharga 15 ribu itu,” pamanku terus menyakinkan aku.
Aku masih saja tidak percaya.
“Kenapa bisa kebetulan seperti ini?” kataku dalam hati.
“Ya ada kemungkinan, nanti kami pesan hingga 300 kitab. Untuk disebar di sekolah lainnya,” paman terus bicarakan pesanan kitab itu.
Aku tersadar, memang itu bukan mimpi.
“Alhamdulillah. Iya-iya, insya Allah,” jawabku terbatah-batah.
Aku dan pamanku akhirnya pulang meninggalkan pengurus rohis yang masih keheranan melihat sikapku tadi.

***

Setibanya di rumah, pamanku masih bertanya, “Sebenarnya ada apa? Kok sikapmu tadi aneh?”
“Serba kebetulan? Apa memang ini takdir paman?” tanyaku.
“Maksudmu?”
“Benar-benar…” aku masih saja merasa nggak percaya.
Aku mulai menceritakan semuanya. Sejak pertama kali datang ke rumah paman, memang belum sempat ngobrol soal kerjaku. Walaupun ditanya, aku masih tidak banyak bicara, mungkin karena suasana yang kurang pas. Tapi kini saatnya aku cerita. Aku ke rumah paman bukan hanya ingin melepas penat dengan segarnya udara pagi. Bukan itu saja, tapi ada masalah kerja yang lain juga. Ini soal nasabah yang sering telat membayar angsuran pinjaman. Ketika aku ngobrol, nasabah itu cerita kalo usahanya tiba-tiba saja lesu. Penjualannya menurun. Tahun kemarin, penjualan ramai di bulan ramadhan. Begitu bulan ramadhan berlalu, penjualannya menurun. Kondisi inilah yang membuatnya kesulitan membayar angsuran pinjaman itu. Waktu ngobrol itu, aku sendiri juga kesulitan bagaimana cara membantu usahanya biar berjalan dengan baik. Sebab kalo usahanya berjalan lancar, dia bisa membayar angsuran dengan lancar. Aku pun jadi tidak terlalu banyak teguran di kantor.
“Nah paman, mau tau usahanya? Dia itu distributor tunggal kitab juz ‘amma dengan tajwid berwarna itu!” jelasku dengan semangat.
“Subhanallah, kok bisa kebetulan sekali ya? jawab paman.
“Iya”
“Kalo begitu, pesanan kami bisa membantu usahanya dan menyelesaikan masalahmu secara bersamaan,” lanjut paman.
Aku menganggukkan kepala, sembari tersenyum.
“Alhamdulillah, ini memang takdir karena sudah terjadi. Namun, ini semua tidak terlepas dari silaturahmi kamu kesini kan?”
“Iya paman, iya,” jawabku.

Aku benar-benar tidak menyangka sebelumnya. Pertemuanku dengan paman dan pengurus rohis itu, akhirnya bisa memecahkan banyak masalah dalam waktu yang bersamaan. Akhir cerita, aku menjadi perantara antara pihak sekolah dengan distributor. Jadi mengirim 300 kitab juz ‘amma dengan tajwid berwarna ukuran standar, seharga 15 ribu per kitab. Aku sendiri mendapatkan untung seribu rupiah tiap kitabnya. Dan tentunya, distributor yang tak lain adalah teman sekaligus nasabahku itu bisa melunasi pinjamannya. Dan aku, mendapat kepercayaan lagi dari kantor. Benar-benar silaturahmi membawa berkah.

***

Nah, apakah Anda juga pernah mendapatkan keajaiban silaturahmi? Pasti, hanya saja kasus dan keberuntungannya yang berbeda. Tetapi hikmah terjalinnya silaturahmi -dari tempat ke tempat dan lintas waktu- tetaplah sama, keberuntungan. Maka benar ketika Rasulullah shalallahu ’alaihi wasalam bersabda, “Barangsiapa yang ingin diperpanjang usianya dan diperbanyak rezkinya, maka sambunglah tali silaturahmi.”

***
[dwi.s]

1 komentar:

Majalah Islam Al Kautsar mengatakan...

bolehkah kami mempublikasikan naskah "keajaiban silaturahmi"?
nanti ada honornya.