Sabtu, 12 April 2008

Indahnya Hutang Piutang

Sudah dua minggu ini Pardi susah memejamkan mata. Bukan lantaran banyak nyamuk, bukan karena kasurnya nggak empuk tapi karena utang. Kalo siang, hati jadi was-was mau melangkah ke luar rumah. Mau lari juga percuma, semuanya jadi serba susah. Yang ada dipikiran cuma gimana caranya bayar utang itu. Utangnya sich cuma 100 ribu, tapi kalo memang uang di dompet nggak cukup tuk bayar, gimana? Terpaksa, jurus terakhir harus dikeluarkan. Jurus pertahanan level pendekar : ”tutup lobang gali lobang.”

Disisi lain, Sartono kudu marah-marah. Uang yang dipinjamkan ama tetangga nggak balik-balik. Yang susah malah istrinya, karena Sartono marah-marahnya di rumah. Soale mau nagih-terus juga nggak enak. “Pekewuh,” katanya. Nasib buat si peminjam karena Sartono mengumbar aibnya (yang suka menunda-nunda bayar utang) sama tetangga yang lain.

Inilah sekilas potret kita. Mungkin sebagian kita sekarang ada diposisi Pardi yang terhimpit utang? Atau mungkin sebagian kita lagi ada diposisi Sartono yang suka ngasih utang (punya piutang)? Atau mungkin bersamaan, dalam satu-waktu ada diposisi Pardi dan Sartono?
Soal utang-piutang itu sudah biasa. Kalo kita nggak punya duit dan lagi ‘kepepet’ ya kudu ngutang. Terus, kalo memang tetangga lagi butuh duit dan kita lagi ada duit, ya dipinjemi. “Gitu aja kok repot,” kata Gusdur.

Masalahnya, kenapa banyak orang kehilangan kepercayaan gara-gara utang? Kenapa gara-gara duit-ribuan kita harus ribut sama tetangga? Kenapa transaksi keuangan itu jadi salah satu penghancur ukhuwah di antara kita?
Bagi umat Islam, utang-piutang merupakan bentuk muamalah iqtishadiyah yang mubah (boleh) untuk dilakukan. Tips-tips jitu telah disajikan oleh Rasulullah Saw. Bagi orang yang punya utang, Rasulullah Saw memberi isyarat, “Barang siapa berhutang sedangkan ia benar-benar berniat akan melunasinya, maka Allah akan menugaskan sekelompok malaikat untuk menjaganya dan mendoakan baginya sehingga ia dapat melunasinya.”

Niat mengembalikan, inilah yang sering lalai saat pinjam duit. Biasanya yang ada juga pinjem duluan, soal ngembalikan belakangan aja. Saran Rasulullah Saw dalam hadis itu, bagi orang yang pinjem duit mesti punya kesungguhan untuk mengembalikan. Misalnya saja, pinjem duit 100 ribu. Harus dicicil 10 kali selama sepuluh hari. Kalo niatnya baik ya dikembalikan sesuai kesepakatan itu. Jadinya, orang yang minjami duit juga bisa tersenyum dan nggak marah-marah. Selain itu, kepercayaan juga nggak hilang. Karena orang Jawa itu punya ilmu ‘titen’ (mengamati), jadi kalo orang sudah berkali-kali membuat orang lain kecewa ya akhirnya dicap jelek. Di perbankan misalnya, nasabah nakal yang susah ngembalikan pinjaman langsung masuk black list (daftar hitam). Kalo sudah masuk daftar itu dijamin susah dapat pinjaman lagi. Ditambah lagi kalo pegawai banknya ngomong ke bank lain kalo nasabah itu pernah kasus kredit macet. Susah dech jangka panjangnya karena nggak ada lagi orang yang percaya.

Sebenarnya, kemauan untuk membayar utang merupakan wujud syukur. Bersyukur karena Allah telah memudahkan jalan riziki (lewat pinjaman) ketika pas dihimpit kesulitan keuangan. Selain itu, kesungguhan untuk membayar utang juga merupakan wujud ucapan terima kasih kepada orang yang memberi pinjaman. Karena dialah yang membantu dan membuat hati lega ketika pas lagi butuh duit.

Pernah ada kasus yang tertulis di buku Tanya Jawab Agama (2001), seseorang punya utang pada Fulan. Sewaktu orang tersebut hendak membayar utangnya, ternyata si Fulan telah pindah alamat. Cerita singkatnya, alamat si Fulan tidak terdeteksi dan susah dicari. Pertanyaannya, bagaimana cara orang tersebut melunasi utangnya?
Atas kasus ini, Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih memberi solusi sebagai berikut:
”Untuk mencari alamat Fulan, saudara dapat dengan menggunakan mass media surat kabar atau majalah melalui sudar pembaca. Kalau tidak dapat, maka ada jalan keluar, di antaranya saudara simpan uang itu sebagai amanat untuk diberikan sewaktu-waktu Fulan didapati alamatnya diberikan kepadanya. Agar uang yang anda hutang itu tidak habis nilainya karena inflasi dan hal itu merupakan amanat, belikanlah barang yang harganya stabil, seperti emas. Akan lebih baik lagi kalau uang itu dikembangkan seperti digunakan modal atau dibelikan ternak yang dapat menjadi banyak, nantinya diberikan kepada bersangkutan apabila telah kedapatan alamatnya.
Dalam suatu hadis muttafiq alaih diriwayatkan bahwa ada orang yang belum sempat memberikan uapah kepada buruhnya, kemudian upah itu dibelikan ternak dan setelah menjadi banyak, buruh itu menerima upah itu tetapi telah menjadi ternak yang banyak sekali jumlahnya yang kemudian diserahkan kepada buruh itu oleh majikannya, dan majikan itu dinilai sebagai orang yang ikhlas dan pemegang amanat yang terpercaya. Jalan keluar yang lain ialah kalau di tempat anda ada badan yang mengelola harta umat Islam yang dimasa dulu bernama Baitul Maal Lilmuslimin, dapat dititipkan kepada badan tersebut. Atau kalau memang telah lama tidak didapati alamatnya dan anda yakin tidak akan ditagih lagi, serahkan saja pada lembaga sosial Islam untuk dapat dimanfaatkan dengan niat anda telah mengembalikan hutang anda kepada Fulan tersebut.”

Melihat kasus di atas, pantaslah jika Rasulullah Saw memberi nasehat, “Yang terbaik di antara kamu ialah yang terbaik dalam cara pelunasan hutangnya.” Jadi, kewajiban utama bagi peminjam adalah melunasi utangnya.

Pada posisi ini, banyak anggapan kalo orang yang punya utang itu hina. Orang yang pinjem duit itu ngrepotin orang lain. Opini masyarakat ini seperti norma tak tertulis, menjadikan pihak peminjam pada posisi yang negatif. Padahal tidak demikian, peminjam juga dapat menjadi peminjam yang profesional. Caranya, peminjam mengembalikan duitnya tepat waktu. Lebih mulia lagi kalo dibayar sebelum jatuh tempo. Buktinya, banyak bank memberikan bonus (reward) pada nasabahnya yang bisa melunasi pinjaman (pembiayaan) sebelum jatuh tempo. Jadi, tidak heran kalo hubungan nasabah dengan bank semakin tambah akrab karena saling menguntungkan.

Kalo diposisi si pemberi utang, pasti kesannya positif. Orangnya punya duit, baik hati, suka membantu, tabah kalo susah nagihnya, dan sederetan kebaikan lainnya. Tapi, ini khusus untuk si pemberi pinjaman tanpa bunga (bukan renternir/QS. Al-Baqarah 2: 278).

Minjemin duit nggak pakai bunga tapi tetep minta jaminan (QS. Al-Baqarah 2: 283). Khusus di posisi ini, Rasulullah Saw memberikan kabar gembira, ”Barang siapa memberikan pinjaman satu dinar sampai waktu tertentu, maka akan dicatatkan baginya pahala sedekah, setiap harinya, sampai saat waktu pembayaran. Dan apabila telah sampai waktu pembayarannya, lalu ia mengundurkannya setelah itu, maka akan dicatat baginya setiap harinya pahala atas pinjaman itu.”

Kenyataannya, para pemberi pinjaman sering di cap jelek (negatif) oleh masyarakat. Kesan negatif itu muncul karena si pemberi pinjaman sering: (1) membebankan bunga pada uang pokok utang (seperti renternir), dan (2) cara menagihnya sangat menyakiti hati peminjam.

Untuk kasus ini, al-Qur’an memberikan solusi yaitu ”...bagimulah pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak teraniaya.” (QS. Al-Baqarah 2: 279). Artinya, pemberi pinjaman hanya meminta uang pokoknya saja tanpa bunganya. Yang kedua, hadis melalui Ibn Majah, Ibn Hibban dan al-Hakim dari Umar serta Aisyah, ”Ambillah hakmu dengan cara secukupnya dan seadil-adilnya, sepenuhnya ataupun tidak, niscaya Allah akan menghisabmu dengan hisab yang ringan.” Kata seadil-adilnya dapat diwujudkan dalam bentuk perkataan (waktu menagih) yang ahsan kariman.

Selain itu, Al-Ghazali dalam Kitab Adab al-Kasb wa al-Ma’asy menceritakan bahwa Rasulullah Saw pernah menyaksikan seorang laki-laki terus-menerus membuntuti seorang lainnya untuk menagih utang. Maka Rasulullah Saw mengisyaratkan kepadanya agar ia bersedia mengurangi setengah dari jumlah utang tersebut. Dan subhanallah, si pemberi utang menyetujuinya. Pengurangan utang tersebut dilakukan karena si peminjam dalam kondisi muflis (bangkrut).

Ketika peminjam belum mampu mengembalikan duit yang ia pinjam, maka si pemberi pinjaman memberi perpanjangan waktu. Mungkin, sebagian orang berpikir kalo itu merugikan si pemberi pinjaman. Iya, merugikan kalo ukurannya cuma duit di dunia, tapi jika ukurannya pahala akherat maka akan lain urusannya. Hadis melalui Muslim memberikan kabar gembira yaitu, ”Barang siapa memberi kesempatan kepada si penghutang yang dalam kesulitan untuk mengundurkan waktu pelunasan hutangnya, atau meringankan perhitungan baginya, maka Allah Swt akan memudahkan bagi hisabnya kelak di hari kiamat.” Catatan penting dari hadis ini bahwa mengundurkan waktu pembayaran utang hanya dilakukan jika si peminjam benar-benar dalam keadaan kesulitan.

Jadi idealnya, utang-piutang akan menjadi indah dan berjalan lancar jika peminjam tersenyum pas dapat duit pinjaman dan orang yang meminjami akan tersenyum pas duitnya dikembalikan. Kedua pihak sama-sama tersenyum. Jika semua ini dapat dilakukan, maka utang-piutang akan menjadi indah.

***
[dwi.s]

Tidak ada komentar: