Sabtu, 12 April 2008

Saya Bukan Rentenir

“Tunggu sebentar ya pak.”
“Baik bu.”
Bu Surya masuk ke dalam kamar mengambil uang. Sedangkan di ruang tamu, pak Surya –suami bu Surya- mengobrol dengan pak Ramli. Ini bukan kali pertama pak Ramli menemui bu Surya. Beberapa hari sebelumnya, pak Ramli menemui bu Surya. Tapi bu Surya belum mengiyakan maksud kedatangannya. Atas upaya bujuk rayu suaminya, akhirnya bu Surya mengabulkan permohonan pak Ramli.
“Ini pak uangnya. Mohon dihitung dulu,” kata bu Surya sembari meletakkan uang itu di atas meja.
Pak Ramli memandang pak Surya.
“Silakan pak, dihitung dulu,” kata pak Surya.
“Baik. Terima kasih, bapak dan ibu bersedia membantu saya. Membantu keluarga saya,” jawab pak Ramli.
Uang di atas meja itu akhirnya berpindah ke tangannya. Uang yang selama ini ia harapkan. Uang yang akan membantu putrinya untuk melanjutkan sekolah. Air matanya tak tertahankan lagi. Pak Ramli menoleh kekiri. Melihat putrinya yang duduk di sampingnya, “Alhamdulillah, besok kamu masuk sekolah lagi.”
Tanpa banyak bicara, putrinya langsung memeluk pak Ramli. Melihat itu, bu Surya meneteskan air mata.
“Seperti janji saya tadi bu. Saya akan mengangsurnya setiap hari enam ribu,” kata pak Ramli sambil menggenggam uang itu dengan kedua tangannya.
“Ya, silakan pak. Semoga bermanfaat,” jawab bu Surya.

***

Tentang uang itu, pak Ramli sudah mencoba meminjamnya. Dari koperasi pasar, ditolak. Ya, ditolak. Pak Ramli tidak memiliki jaminan untuk pinjaman itu. Pihak koperasi pun tidak begitu saja percaya dengan sosok pak Ramli. Terlebih, keuangan keluarganya hanya ditumpu dengan profesinya sebagai tukang becak. “Berapa sich pendapatan tukang becak?” kata mereka yang meremehkannya. Begitu juga dengan istrinya, hanya penjual sayuran keliling. Sedangkan kelima anaknya masih sekolah semua. Inilah salah satu alasan yang disampaikan pak Surya kepada istrinya. Selain itu, bu Surya baru saja pulang dari negeri padang pasir sebagai tenaga kerja Indonesia. Tentu saja, semua orang jadi berpikir uang yang dibawanya banyak. Itu pun yang diyakini jama’ah masjid di kampungnya karena sering melihat bu Surya memakai perhiasan.

Karena tidak punya barang untuk dijaminkan, pak Ramli memohon imam masjid dikampungnya untuk membantu. “Insyaalloh, pak Ramli orangnya baik. Saya yang akan menjaminnya,” kata imam masjid kepada pak Ramli. Ini juga yang memantapkan pak Surya untuk membantu pak Ramli. Tapi apa daya, keputusan tetap ada di tangan bu Surya. Hingga akhirnya, bu Surya memberikan pinjaman itu.

***

Sehari setelah menerima uang itu, pak Ramli mulai mengangsur. Setiap hari, sepulang kerja disempatkannya mampir di rumah bu Surya. Enam ribu setiap harinya. Prestasi pak Ramli dalam mengangsur patut ditiru. Selama sepuluh bulan, pak Ramli tidak pernah absen mengangsur. Bila berhalangan, biasanya pak Ramli meminta anak tertuanya untuk mengantar uang itu. Begitu juga bu Surya, tidak selamanya bisa menerima langsung uang itu. Sepulang dari negeri padang pasir, bu Surya beserta suaminya lebih memilih bisnis teh mahkota dewa yang diproduksinya sendiri. Karena itu, di bulan ke sembilan, bu Surya bersama suami sibuk keliling kota selama tiga bulan untuk mempromosikan teh mahkota dewa produksinya itu. Angsuran uang dari pak Ramli akhirnya diterima oleh putra sulung bu Surya.

Hingga masa promosi telah selesai. Bu Surya dan suaminya pulang. Putra sulungnya pun menyampaikan laporan angsuran dari pak Ramli. Betapa terkejutnya bu Surya ketika angsuran itu telah selesai dan jumlahnya melebihi uang yang dipinjam. Putranya tidak tahu masalah itu. Yang ia tahu, ketika menerima angsuran uang dari pak Ramli langsung dicatat di buku pinjaman. Tentang kelebihan uang itu, putra sulung bu Surya benar-benar tidak tahu. Akhirnya, bu Surya memutuskan untuk menemui pak Ramli. Tentu saja untuk konfirmasi perihal kelebihan uang angsuran itu.
“Pak, hutang bapak kan cuma 1.800.000?”
“Benar bu.”
“Tapi kenapa uang yang saya terima 2.160.000? Ini terlalu banyak pak.”
“Bukankah itu sudah menjadi tradisi dalam melunasi hutang bu?”
“Maksud pak Ramli?”
“Ya dulu, saya pernah pinjam sama rentenir di pasar.”
“Terus?”
“Kalo pinjam 1.800.000 biasanya harus kembalikan 2.160.000 dalam 12 bulan bu.”
“Astaghfirulloh. Maksudnya bunga pak?”
“Iya, kenapa bu?”
“Saya tidak mau menerima bunga ini pak.”
Bu Surya meyerahkan kembali uang kelebihan itu, 360.000. Pak Ramli kebingungan.
“Maaf bu, maaf. Apakah uang ini kurang?”
“Tidak pak, tidak.”
“Lalu kenapa ibu tidak berkenan menerimanya?”
“Karena saya bukan rentenir pak. Saya bukan rentenir.”
“Maaf bu, maaf. Bukan maksud saya…”
Akhirnya bu Surya tetap menyerahkan bunga 360.000 itu. Bu Surya hanya mengambil uang pokok pinjaman saja, 1.800.000.
***

Kisah ini dengan cepat menyebar di masyarakat, terutama jama’ah masjid kampung. Bagi sebagian orang, penolakan bu Surya atas tambahan uang itu mungkin menjadi tindakan terbodoh dalam hal financial. Kenapa? Karena jelas, bunga bisa menambah pendapatan bagi keluarga bu Surya. Tapi, kenapa bu Surya menolaknya? Berikut ini jawaban dari bu Surya kepada tetangga atau teman yang menanyakannya :

Bunga dan rentenir tidak pernah terpisahkan. Di beberapa daerah, profesi rentenir sangat popular, yaitu orang yang menawarkan pinjaman jangka pendek tanpa jaminan tetapi memiliki tingkat bunga yang relatif tinggi. Mereka bergerak secara individu. Biasanya, sebagian besar rentenir beroperasi di pasar-pasar pedesaan dan bahkan mereka juga sering mengunjungi orang dari pintu ke pintu. Permasalahan pokok dari rentenir yang sering menjadi buah bibir adalah bunga. Sebab, karakteristik bunga identik dengan riba yang sering disebut dalam al-Qur’an dan hadis.

Riba adalah az-ziyadah yang artinya tambahan atau kelebihan. Pengertian tambahan dalam konteks riba yaitu tambahan uang atas pinjaman, baik tambahan itu berjumlah sedikit apalagi berjumlah banyak. Senada dengan para ulama fiqh yang juga mendiskusikan riba sebagai kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya. Maksudnya, tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo. Penghitungan atas waktu itu pada riba mengandung tiga unsur, pertama tambahan atas uang pokok, kedua tarif tambahan yang sesuai dengan waktu dan ketiga pembayaran sejumlah tambahan yang menjadi syarat dalam tawar menawar.
Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan pengertian riba secara bahasa yaitu tambahan dengan maksud setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah. Transaksi pengganti/penyeimbang yaitu transaksi bisnis komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.
Misalnya transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Sewa mobil, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan sebelum disewakan. Dalam jual-beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Begitu juga dengan proyek bagi hasil, para peserta pengkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Namun, rentenir mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman. Dalam kisah di atas, jika saja bu Surya menetapkan bunga pinjaman sebesar 360.000, maka pak Ramli wajib membayarnya. Sehingga terjadi ketidakadilan ketika pak Ramli diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Sedangkan besarnya pendapatan pak Ramli dari mengayun becak setiap harinya tidak menentu. Oleh karena itu, riba sering dikaitkan dengan kata al-bathil yang tertulis dalam al-Qur’an surat an-Nisâ’ ayat 29, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.”
Al-Quran dengan jelas menggunakan kata riba sebanyak delapan kali yang terdapat dalam empat surat, yaitu al-Baqarah, Ali ‘Imran, an-Nisâ’, dan ar-Rûm. Tiga surat pertama termasuk dalam surat Madaniyyah yang turun setelah Nabi hijrah ke Madinah. Sedangkan surat ar-Rûm masuk dalam surat Makiyyah yaitu turun sebelum beliau hijrah. Dengan begitu, ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah ar-Rûm ayat 39.
Al-Maraghi dan Ash-Shabuni berpendapat bahwa tahapan pembicaraan riba dalam al-Qur’an sama dengan tahapan pembicaraan khamr (minuman keras). Tahapan pelarangan riba yaitu pertama menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya, “Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah...” (QS. ar-Rûm ayat 39).
Kedua, berisi isyarat tentang keharamannya, “Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. an-Nisâ’ ayat 160-161).
Ketiga, dinyatakan secara eksplisit keharaman dari salah satu bentuknya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali ‘Imran ayat 130).
Tahap keempat, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS. al-Baqarah ayat 278-279). Dengan demikian, keharaman riba dalam al-Qur’an secara tegas terdapat pada surat Ali ‘Imran ayat 130 dan al-Baqarah ayat 278.
Riba menyebabkan hancurnya ukhuwah dan memicu perselisihan antara sesama manusia. Riba menjadi alat pemerasan manusia terhadap manusia yang lain. Segelintir orang yang menghisap riba dengan enak-enaknya hanya menggoyang-goyangkan kaki dan dari tahun ke tahun menerima kekayaan yang berlimpah dengan tidak bekerja sama sekali. Padahal, para pelaku riba sebenarnya tidak akan tenang dalam kehidupannya. Ia akan selalu merasa gelisah, cemas dan takut kehilangan harta. Seperti yang dikiaskan al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 275 “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” Kenyataannya memang demikian, individu yang mengambil riba cenderung memiliki perilaku malas, eksploitatif dan spekulatif. Disisi lain, secara sosial ekonomi, korban yang dihisap riba memeras keringat hanya untuk menambah kekayaan pemilik modal. Seolah-olah korban riba seperti budak dan sapi perahan. Orang harus menyetorkan riba pinjaman dengan kerelaan yang dipaksakan. Akibatnya, mental dan jiwa peminjam penuh dengan api dendam.
Nah, akankah keuangan pribadi yang berbasis riba ini mampu menghadirkan ketenangan jiwa? Tidak! Karena itu, beranilah untuk mengatakan, “Saya bukan rentenir.”
***
[dwi.s.]

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Sudah jarang ada orang seperti itu Mas, yang mau meinjamkan uangnya tanpa ada imbalan. Kalau seandainya ada beberapa orang seperti itu kemudian mereka bersatu dan mau membantu para korban riba, sungguh mulia perbuatan itu. Saya adalah salah seorang yang terkena jebakan riba, dan sampai sekarang sudah bertahun-tahun saya sedang berusaha mencicil hutang-hutang saya. Mudah-mudahan suatu saat nanti , insya Allah dengan pertolongan Allah, saya bisa melunasi hutang-hutang saya, dan mudah-mudahan nanti saya diberi kelebihan untuk membantu para korban lainnya. Karena dengan mempunyai hutang, apalagi hutang riba, selain berdosa, hati juga menjadi tidak tenang, setiap saat selalu diliputi kecemasan. Yah, usaha saya mengalami kerugian, padahal modal saya adalah sebagian dari bank, ketika usaha mengalami kerugian, yang tersisa adalah dosa dan hutang. Mudah-mudahan Allah mengampuni semua dosa saya. Amin