Sabtu, 12 April 2008

Psiko-financial

“Ini 10 ribu mbak,” Wawan menyodorkan sepuluh lembar uang ribuan itu.
“Lho, kok cuma 10 ribu? 30 ribu mas,” tanya mbak Harti.
“Uang ini untuk kamu mbak.”
“Maksudnya?” mbak Harti semakin penasaran.
“Kan uang untuk bayar komputer 30 ribu per bulan. Nah, nggak usah bilang ibu kos aja kalo aku bawa komputer. Jadi, uang 10 ribu ini buat kamu mbak,” Wawan menjelaskan maksudnya.
“Wah mas, kalo ibu kos tau nanti bisa repot,” mbak Harti ragu-ragu
“Lho, kalo kita nggak ngomong kan, ibu kos nggak akan tau. Ntar kalo aku pakai komputer juga diam-diam aja,” Wawan terus merayu.

Mbak Harti pun diam. Sesekali memandang uang ribuan yang ada di genggaman Wawan. Mbak Harti berkata dalam hati, “Wawan anak baru di kos ini. Ibu kos juga sudah tidak pernah lagi ke sini. Jadi benar juga, kalo aku nggak ngomong soal Wawan bawa komputer pasti ibu kos nggak akan tau. Terus, ibu kos sudah kaya sedangkan aku butuh uang.”
“Ya sudah sini. Yang penting kita nggak usah bilang ibu kos. Oya, kamu juga jangan bilang suamiku,” mbak Harti menerima tawaran Wawan sembari menerima uang itu.

Beruntung buat Wawan, beruntung juga buat mbak Harti. Wawan yang seharusnya bayar 30 ribu per bulan karena memakai komputer, kini cuma bayar 10 ribu per bulan. Beruntung juga buat mbak Harti, lumayan ada tambahan 10 ribu per bulan.

Kos Arjuna namanya. Mbak Harti dan suaminya dipercaya ibu kos untuk menjaga 10 kamar itu. Sudah berjalan hampir 6 tahun lamanya. Mereka mendapat tugas untuk menjaga dan merawat Kos Arjuna dengan fasilitas menempati dua kamar untuk kelima anaknya. Setiap bulan, mbak Harti mendapat uang 250 ribu sebagai gajinya. Jelas, uang 250 ribu itu tidak cukup untuk makan dan memberi uang jajan kelima anaknya. Karenanya, suaminya bekerja menjahit (membuat jilbab) di rumah ibu kos. Walaupun sudah bekerja siang malam, mbak Harti dan suaminya masih serba kekurangan.

***

Kembali ke cerita Wawan. Dua bulan telah berlalu, tidak ada masalah. Hingga Andi, cowok asal Semarang yang menempati kamar no.1 itu, memutuskan untuk membawa komputer. Andi berniat menyelesaikan skripsi.ditahun ini. Andi pun menemui mbak Harti yang sedang membersihkan kamar mandi.
Dengan santai Andi berkata, “Mbak, aku juga mau bayar 10 ribu.”
“Lho, bawa komputer di kos ini bayarnya 30 ribu per bulan mas,” jawab mbak Harti.
“Ah, Wawan juga cuma bayar 10 ribu. Iya kan?”
Mbak Harti berhenti membersihkan kamar mandi. Memandang Andi sembari bertanya, “Apa maksudmu?”
“Sudahlah mbak. Nggak usah tanya gitu. Aku dengar semua pembicaraan kalian soal uang komputer itu,” kata Andi dengan nada sinis.
“Dengar dari siapa?”
“Bukan dari siapa-siapa. Aku dengar sendiri. Aku sedang di kamar mandi waktu kalian lagi tawar menawar, gimana?”
Mbak Harti menundukkan muka dan berkata, “Mas, sebenarnya aku takut kalo ibu kos dan teman-teman yang lain tau soal uang komputer itu. Walaupun aku dapat uang tapi aku sering was-was kalo tiba-tiba ibu kos datang dan melihat kalo Wawan bawa komputer. Sekarang kamu juga nawari aku 10 ribu untuk bawa komputer. Aku jadinya semakin takut mas.”
“Pikirin dulu aja mbak, dari pada aku bilang ke ibu kos dan teman-teman kos lainnya. Pasti ibu kos lebih marah. Dan, teman-teman juga marah karena mereka sudah bayar full 30 ribu per bulan ke ibu kos. Gimana?” Andi mulai mengancam.
Mbak Harti mulai terpojok. Jika merima uang dari Andi pasti hari-harinya akan bertambah diselimuti rasa takut. Tapi kalo menolak uang dari Andi, bisa-bisa dia tidak dipercaya lagi oleh ibu kos.
Mbak Harti tidak berpikir panjang lagi, “Ya sudah, mana uangnya.”
“Nah gitu dong mbak. Kan jadinya sama-sama enak,” kata Andi sembari menyerahkan uang 10 ribu itu.
Andi meninggalkan mbak Harti di depan kamar mandi. Melangkah meninggalkan mbak Harti yang terdiam memegang uang 10 ribu itu

***

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Tak terasa sudah empat bulan mbak Harti mendapat tambahan uang dari Wawan dan Andi. Saat itu, ibu kos masih belum tau.
Hingga suatu hari. Ibu kos memanggil suami mbak Harti, “Kayyis, kenapa uang bayar listrik kos Arjuna naik?”
“Ya bu, saya juga belum tau pastinya. Nanti saya cek dulu,” jawab mas Kayyis.
Jawaban mas Kayyis kurang melegakan hati ibu kos. Tak tahan lagi karena bayar listriknya semakin naik, ibu kos memutuskan untuk datang ke kos. Kunjungan mendadak dari ibu kos otomatis mengejutkan penghuni kos Arjuna. Ditambah lagi raut wajah ibu kos yang kurang bersahabat.
“Mbak Harti, anak-anak dipanggil. Kumpul di ruang tengah,” pinta ibu kos.
Mbak Harti pun bergegas memanggil anak-anak kos, “Rachmat, Danis, Riman, semuanya kumpul. Ibu kos datang.”
“Wah pasti nagih uang kos nih,” gumam Rachmat.
Ibu kos mulai bicara, “Langsung saja. Saya minta kesediaan kalian untuk membuka kamar masing-masing. Saya mau cek.”
“Baik bu,” jawab anak kos serempak.
Ibu mulai cek kamar satu per satu, “Kamar no.1 dan no.10 kok masih terkunci. Dimana penghuninya?”
“Belum pulang bu,” jawab mbak Harti.
Ibu kos melihat mbak Harti, “Kalo gitu buka pintunya dengan kunci cadangan. Kamu masih simpan kan mbak.”
“Masih bu,” jawab mbak Harti sembari melangkah mengambil kunci cadangan itu.
Jantung mbak Harti berdebar-debar kencang. Apa yang ditakutinya selama ini akan terjadi. Nafasnya semakin tidak teratur.
“Tolong bukakan dua kamar itu mbak,” pinta ibu kos.
Kebetulan kamar no.1 dan no.10 saling berhadapan. Setelah selesai membuka pintu kamar no.1, mbak Harti membuka pintu kamar no.10. Ibu kos pun masuk kamar no.1 untuk melihat-lihat.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala ibu kos bergumam, “Nah, ini dia penyebabnya”
Ibu kos bergegas menemui mbak Harti di kamar no.10. Belum sempat bertanya soal komputer yang ada di kamar no.1, ibu kos dikejutkan lagi dengan adanya seperangkat komputer di kamar no.10. Jelas terlihat wajah ibu kos merah. Mbak Harti menundukkan kepala.
Ibu kos menggelengkan kepala, “Wah, ini sudah nggak bener mbak. Di catatan yang kamu berikan, dua kamar ini tidak pakai komputer. Ternyata mereka bawa komputer. Sudah berapa lama mbak?”
“Kamar ini sudah 6 bulan. Kalo kamar no.1 sudah empat bulan bu,” jawab mbak Harti dengan suara gemetar. Wajahnya pucat.
Ibu kos menatap mbah Harti dengan tatapan tajam, “Pantas, bayar listriknya melonjak.”
Ibu kos keluar dari kamar no.10. Mbak Harti mengikutinya dari belakang.
“Bu saya minta maaf. Saya mengakui kesalahan saya,” kata mbak Harti di depan anak kos lainnya.
Ibu kos duduk di kursi ruang tamu, mengeluarkan buku catatan dan pulpen. Sambil mencatat sesuatu, ibu kos bertanya, “Apa kamu menerima uang dari mereka mbak?”
“Iya bu. Saya menerima 10 ribu per bulan dari mereka. Uangnya saya pakai untuk uang saku anak-anak,” jawab mbak Harti.
“Kamu mengulanginya lagi. Dulu kamu makan uang kos, sekarang kamu ambil juga uang komputer. Besok uang apa lagi yang akan kamu ambil?”
Mbak Harti diam. Anak kos tidak berani menyertai pembicaraan itu. Mereka juga tidak tau perihal uang komputer itu. Toh, memang itu urusan mbak Harti dengan ibu kos.
“Saya sudah kehilangan uang. Saya juga merasa dikhianati. Jujur, saya kecewa. Kalian hanya mementingkan diri sendiri. Saya sudah baik dengan kalian, tapi kalian justru menusuk saya dari belakang. Saya juga tidak akan basa-basi lagi, barang-barang Wawan dan Andi segera dipindahkan. Saya minta mereka pindah dari kos ini. Saya takut kalo anak kos lainnya nanti terpengaruh. Saya juga akan cari penjaga kos baru. Dua hari lagi saya ke sini, semuanya harus sudah selesai.” Ibu kos melangkah menuju mobilnya, meninggalkan mbak Harti yang terus meneteskan air mata.

***

Inilah salah satu potret bagaimana seseorang kurang beruntung dalam bergelut dengan uang. Satu potret dari ribuan bahkan milyaran kenyataan yang hadir di depan mata silih berganti. Uang selalu identik dengan materi. Sifat dasar inilah yang sering digunakan untuk membangun paradigma keuangan yang keluar dari nilai-nilai kehidupan. Seolah-olah urusan uang berdiri sendiri, terpisah dari aturan kehidupan. Banyak orang berupaya untuk menaikkan tumpukkan uang yang mereka miliki. Bagaimana uang bertambah lagi dan lagi. Atau juga me-ngerem pengeluarannya. Namun, berapa orang yang tetap memegang nilai-nilai luhur (august values) untuk menambah dan me-ngerem pengeluaran uang itu?

Mbak Harti, Wawan dan Andi jelas secara materi telah merasakan keberuntungan. Mbak Harti mendapat pemasukan tambahan setiap bulannya. Sedangkan Wawan dan Andi juga menikmati uang yang seharusnya mereka keluarkan. Secara materi mereka telah berhasil yaitu berhasil meningkatkan pendapatan dan membatasi pengeluaran. Mereka memiliki kecerdasan financial karena perilaku mereka masih mengedepankan utility (kegunaan) dengan orientasi jangka pendek. Jika menguntungkan secara materi buat mereka, maka pasti akan diambil tanpa berpikir apakah ada pihak yang dirugikan? Jika merugikan secara materi buat mereka, maka jelas ditingggalkan meskipun banyak pihak yang membutuhkannya.

Padahal, disadari atau tidak. Persoalan keuangan tidak semata-mata urusan materi, tetapi juga melibatkan emosi. Sehingga ada rasa dari setiap uang yang didapatkan atau dikeluarkan. Misalnya, kita merasa senang ketika mendapat gaji. Berarti, aktivitas dari mendapatkan gaji ini telah menambah materi dalam bentuk uang sekaligus menambah rasa dalam bentuk kesenangan. Demikian juga, rasa sedih akan muncul ketika kita terlambat menerima gaji. Terlihat, satu aktivitas keuangan berdampak pada dua ranah yang berbeda. Harapannya, materi dan rasa dapat dikembangkan secara positif. Inilah yang kita sebut dengan kecerdasan psiko-financial, yaitu pikiran dan emosi saling melengkapi dalam pengelolaan uang.

Pengembangan potensi kecerdasan psiko-financial seseorang akan terukur dengan bertambahnya nominal uang sekaligus perasaan senang, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga orang lain. Terwujud dalam sigma kepuasan financial. Dengan catatan, bertambahnya nominal uang dan kesenangan itu berdasar pada manfaat yang memiliki multi-effect. Inilah yang disebut dengan maslahah sebagai wujud multi-effect dari kecerdasan psiko-financial.

Berikut ini tabel sederhana yang akan mempermudah memahami perbedaan mendasar antara kecerdasan financial dengan kecerdasan psiko-financial :

Level Standard
Kecerdasan psiko-financial Bertambahnya nominal uang  maslahah
Kecerdasan financial Bertambahnya nominal uang  utility

Seandainya mbak Harti, Wawan dan Andi menggunakan kecerdasan psiko-financial, maka mereka tidak akan mengalami kesedihan dan tentu tidak mengecewakan ibu kos. Karena itu, paradigma kecerdasan psiko-financial memiliki tingkatan yang lebih mulia jika dibandingkan dengan kecerdasan financial yang hanya berorientasi pada utility.

Nah, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memiliki kecerdasan psiko-financial?

***
[dwi.s]

Tidak ada komentar: